Minggu, 02 November 2008

Bayi (inkubator) Fahri menanti uluran tangan kita

Mencicipi Makanan Asia



Beginilah asyiknya kalau ada kesempatan tugas ke tempat-tempat yang jauh. Jangan sia-siakan kesempatan mencicipi makanan khas daerah, dan ambil foto-foto yang menarik. Lumayan, bisa menambah inspirasi sepulang ke rumah. Tapi kalau mengunjungi tempat-tempat yang sedikit muslimnya, saya lebih baik menjelma menjadi vegetarian, alias tidak makan hewan sembelihan atau produk turunannya. Kadang memang hal ini sering merepotkan kawan-kawan panitia yang menyiapkan makanan untuk kita. Yah, apa boleh buat. Lebih baik berhati-hati memilih makanan, daripada hati tidak tenang setelah makan.

Pengalaman tak terlupakan, jika kita harus berhenti untuk makan di perjalanan. Seringkali kedai makan tidak menyediakan makanan bebas dari hewan sembelihan dan produk turunannya. Atau saking sehatnya makanan mereka, sampai-sampai saya pikir, kita harus memakan rumput-rumputan. Maka ikan asin, telur bebek asin, atau kering tempe pun harus keluar dari peraduannya di dasar ransel.


Kamis, 25 September 2008

Perdagangan Pertanian

Perdagangan yang Adil untuk Ketahanan Pangan Semua

Ketika manusia masih sedikit jumlahnya, mereka yang punya bahan pangan akan menukarkan sebagian miliknya dengan milik orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pangan memang berharga untuk dipertukarkan saat itu. Kini, dari berbagai pelosok bumi manusia menghasilkan pangan. Namun sesungguhnya lebih banyak manusia yang tidak kebagian pangan, entah karena tidak dapat mengakses pangan itu, seperti orang miskin, atau karena keterbatasan sumber daya yang dapat diolah menjadi pangan seperti di daerah kering, atau petani tak punya tanah untuk diolah. Namun tidak sedikit orang yang terbatas aksesnya kepada sumber daya pangan akibat tidak layak dikonsumsinya pangan tersebut.


Mengingat memperoleh pangan yang layak, aman, dan terjangkau merupakan hak asasi manusia, maka dengan kenyataan di atas banyak manusia menjadi korban pelanggaran hak atas pangan ini, seperti muncul pada kasus-kasus rawan pangan, busung lapar, kurang gizi, hingga kematian.

Masih sedikit orang yang menyadari bahwa harga produk pertanian yang murah menyumbang pada pelanggaran hak atas pangan bagi petani sebagai produsen. Karena harga komoditas pertanian yang layak bagi petani (produsen sekaligus konsumen) juga merupakan hak asasi yang melekat pada petani. Oleh karena itu, mendapatkan akses pasar dan harga yang pantas atas komoditas yang dihasilkan, merupakan prasyarat agar petani dapat menyejahterakan diri dan keluarganya. Hal itu dapat terwujud dalam sistem perdagangan produk pertanian yang berkeadilan. Bukannya konsep Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) yang ditawarkan World Trade Organization (WTO) yang lebih berpihak kepada negara maju dan pemilik modal.

Dengan konsep-konsep yang diusung WTO, komoditas petani dari negara berkembang tidak akan mendapat perlindungan. Dan mudah dijatuhkan oleh produk dari negara maju yang sektor pertaniannya dibantu penuh oleh pemerintahnya. Produk-produk itulah yang kini membanjiri negara berkembang. Tak mengherankan, protes negara berkembang (terutama negara yang tergabung dalam kelompok G 33) menjadi batu sandungan dalam perundingan-perundingan pertanian di WTO.

Sementara itu, pemerintah sibuk mengeluarkan kebijakan konversi lahan dengan berbagai dalih. Konversi lahan ini bukan semata untuk kepentingan pertanian, namun terkait dengan paradigma (cara pandang) pertanahan yang dianut penguasa. Maka lahan petani berpindah tangan dan berganti fungsi menjadi mesin-mesin penghasil uang. Contohnya lahan penghasil pangan menjelma menjadi kebun-kebun sawit, coklat, atau menjadi kawasan wisata yang lebih cepat menghasilkan uang bagi pemilik modal. Tidak sedikit pula petani yang menjadi tuna kisma (tak punya tanah) atau menjadi buruh di lahannya sendiri.

Di sisi lain, petani terus dipaksa mensubsidi masyarakat perkotaan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, sementara harga produk pertanian itu sendiri dihargai sangat murah sehingga petani tetap tidak sejahtera. Seperti beras lokal petani kita, selain murah juga dihajar beras impor.

Rancangan Undang-undang Lahan Abadi yang sedang dibahas pun memihak para pemilik modal, bahkan melegalkan kepemilikan lahan oleh perusahaan. RUU ini akan menjadi pintu masuk modal semata, penguatan kepemilikan lahan di tangan segelintir orang, penyeragaman pangan karena sangat bias padi (sawah), dan petani hanya menjadi sapi perah yang terus menderita.

Perdagangan pertanian yang adil sudah selayaknya dirasakan petani dan kita.

Pelestari Lingkungan

Mereka Penjaga Lingkungan

Pada bulan April, Mei, dan Juni ada tiga hari yang diperingati orang sedunia, yaitu Hari Bumi (22 April), Hari Buruh atau May Day (1 Mei), dan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni). Apa pun yang melatarbelakangi ditetapkannya ketiga hari itu untuk diperingati, masih sedikit orang yang menyadari makna di balik ketiganya.

Perjuangan kelas buruh untuk mencapai kesejahteraan hampir selalu menemui batu sandungan, karena hampir semua pihak berpaling kepada modal. Pengusaha, pemilik tanah, “wakil rakyat”, bahkan peraturan perundangan pun (termasuk para pembuatnya) memalingkan wajah mereka kepada uang. Buruh semakin terpinggirkan dan tak memiliki kepastian masa depan. Lihatlah kasus lumpur Lapindo, tampak jelas siapa saja yang sudah berani membuka topeng dan berpaling ke modal.

Sementara manusia saling bertikai, banyak orang berkata, bumi semakin tua makin berkurang kemampuannya untuk menopang kehidupan miliaran manusia dan makhluk hidup lainnya beserta aktivitas mereka. Stephen Hawking, fisikawan terkemuka dunia seperti dikutip Kompas (2/5/2007) mengatakan, “Kehidupan di bumi semakin berada dalam risiko untuk disapu oleh bencana, seperti pemanasan global mendadak, perang nuklir, virus hasil rekayasa genetika, dan bahaya lain”.

Namun lingkungan rusak, banjir, tanah longsor, gelombang panas, perubahan iklim, dan berbagai malapetaka lain tampaknya bukan karena semata bumi yang semakin renta. Tetapi tangan-tangan manusia yang semakin rajin menjamah dan memperlakukan sumber daya yang bukan miliknya secara sewenang-wenang telah berperan besar dalam merusak alam. Di negara maju, ramai-ramai pemilik modal membolongi lapisan ozon dengan gas-gas buangan industri mereka sehingga gas-gas berbahaya masuk ke bumi tanpa terhalang. Sementara di negara berkembang, seperti Indonesia, setiap hari orang menggunduli hutan dengan kecepatan 10 x lapangan sepak bola per menit. Bahaya lingkungan dan kesehatan juga telah lama menyusup ke pertanian kita.

Demi meraup keuntungan berlipat ganda, perusahaan-perusahaan multinasional penghasil benih dan pestisida, bersekongkol dengan penyelenggara negara dan memaksa petani membeli benih dan asupan pertanian hasil rekayasa genetik. Kini, kelapa sawit, kopi, vanili, tebu, dan cokelat transgenik bergantian menyerbu kebun-kebun di negara berkembang, menyusul jagung dan kapas hasil rekayasa genetik yang telah lebih dulu merusak kehidupan petani kecil. Sementara itu, “pupuk organik” yang terbuat dari tepung tulang sapi gila pun meluncur deras ke negeri-negeri yang peraturannya amburadul.

Perebutan penguasaan sumber-sumber agraria lainnya juga berlangsung di Bumi Nusantara. Penguasa, penyelenggara negara, pemilik modal raksasa, dan kekuatan militer dengan paksa berusaha menguasai sumber-sumber agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran segelintir orang berkuasa. Tak segan-segan mereka merampasnya dari tangan rakyat miskin yang hanya berharap dapat hidup dari sejengkal tanah. Begitu juga sumber air bersih yang makin sulit didapat rakyat, masih juga menjadi incaran industri-industri air mancanegara yang memanfaatkan kaki-tangan mereka di berbagai daerah.

Bagi pemilik modal, bumi, lingkungan, bahkan manusia dan makhluk hidup seisi alam ini hanyalah komoditas yang dapat dibongkar-pasang lalu dimainkan harganya di pasar saham. Namun bagi petani, nelayan, buruh, dan rakyat kecil lainnya, sejengkal tanah, setetes air, segenggam benih yang mereka miliki adalah benteng pertahanan dalam hidup ini. Merekalah penjaga alam, pelestari lingkungan di garis terdepan. Pernahkah kita menyadarinya?

Pangan

Pangan dan Martabat Manusia

Dunia kini merupakan rumah bagi 850 juta manusia yang kelaparan dan menderita gizi buruk. Kelangkaan pangan, rendahnya kualitas pangan, tercemarnya air minum, dan kemunculan berbagai penyakit, mulai menjadi pemandangan yang biasa kita temukan di sekitar kita, bahkan menjadi bagian dari kehidupan perempuan, laki-laki, dan anak-anak di seluruh dunia. Apakah planet bumi tidak lagi sanggup memberi makan penduduknya?
Bukan kurangnya pr
oduksi pangan yang menjadi penyebab keadaan ini. Tiadanya akses terhadap pangan bagi rakyat marjinal dan berkekurangan inilah yang menyebabkan ratusan juta manusia di dunia kelaparan dan kurang gizi. Dengan kalimat lain, keterbatasan penguasaan atas sumber daya dasar, seperti tanah dan benih atau penghasilan untuk memperoleh pangan yang menopang kehidupan inilah yang menjadi penyumbang penurunan martabat manusia.

Data yang dikeluarkan oleh FIAN Internasional, menunjukkan ¾ dari orang kelaparan di dunia tinggal di pedesaan, tempat selayaknya pangan dihasilkan; perempuan, masyarakat adat, anak balita, serta korban bencana alam dan perang adalah kelompok yang paling parah terkena dampak kelaparan dan gizi buruk; hampir 1 dari 7 orang di dunia tidak mendapatkan pangan yang cukup untuk tetap sehat dan menjalani hidup yang aktif; setiap tahun lebih dari 5,5 juta anak meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan gizi buruk; setiap menit 24 orang mati kelaparan; bahkan setiap 5 detik 1 orang anak kecil mati kelaparan. Jadi, begitu Anda selesai membaca tulisan ini selama 30 detik, sedikitnya ada 6 manusia di dunia yang harus kehilangan nyawa karena lapar atau gizi buruk.
Mendapat pangan yang layak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi (menyetujui) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ekosob) melalui Undang-undang No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights di mana negara berkewajiban memenuhi dan melindungi hak atas pangan rakyat.

Namun petani dan rakyat pedesaan justru menjadi kelompok yang paling rentan kelaparan, belum lagi nelayan kecil yang tersingkir dari lautnya sendiri karena keberadaan kapal-kapal pukat milik pengusaha, dan k
aum miskin kota yang memang tidak punya akses ke sumber daya dan penghasilan yang layak. Mereka tidak pernah diuntungkan dari kebijakan yang dilahirkan pemerintah sebagai pemegang amanat atas terpenuhinya hak atas pangan setiap rakyatnya.

Meski KTT Pangan Sedunia 2006 mengakui angka kelaparan dunia tidak semakin menurun, namun justru terus meningkat, neoliberalisme dan neoimperialisme (penjajahan baru) melalui perusahaan-perusahaan multinasional, lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, dan lain-lain), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan perjanjian bilateral dan regional semakin dalam menancapkan cengkeramannya atas negara berkembang. Pemerintah pun melepaskan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyatnya kepada kekuatan modal. Tak mengherankan, harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi, dan pengalihan lahan-lahan pangan produktif menjadi lahan tanaman ekspor semakin marak, sementara rakyat miskin bertumbangan ke bumi.

Memberdayakan rakyat untuk dapat mendokumentasi pelanggaran hak atas pangan, mengorganisasi diri sehingga melahirkan kekuatan untuk mendesak pemerintah, serta membangun aliansi dan dukungan internasional menjadi agenda penting yang harus segera kita laksanakan agar hak-hak rakyat atas pangan kembali terpenuhi.

Jumat, 08 Agustus 2008

Fermented Food and Beverage

Fermented Foods and Drinks of Indonesia


A young French scientist more than 100 years ago found out that fermentation was caused by microorganisms. And he succeeded in determining the microorganisms suited for fermenting wines. The scientist was Louis Pasteur. The discovery of Louis Pasteur was unknown to the older generations here, but from generation to generation Indonesians have familiar with a variety of traditional fermented foods and drinks. Some of them are presented below.

Tempe

If we were to visit homes in Java, we would surely see tempe on every dining table at one time or another. Tempe is already available and its price is relatively cheap. A lot of people, especially among the Javanese, find tempe delicious. Some feel that a meal without tempe is incomplete, others even lose their appetite if tempe is not served. Tempe can be fried, spiced, or even served as tempe burger.

Tempe is a cake o fermented soybeans. The processing is traditionally simple. At first soybean are peeled by hand or by threading upon in a filtered basin. The peeled soybeans are mixed with laru and stored for 20 to 24 hours. Laru contains mold fungi such as Rhizopus oligosporus, R. stolonifer, R. oryzae, and R. chlamidosporus, which act as fermentative elements. Another fermentative element often used to produce tempe is usar, contained in waru leaves (Hibiscus tiliaceus).

In Purwokerto and Banyumas, Central Java, there is another kind of tempe made of soybean and fresh ground coconut leavings; it is called tempe bongkrek. But spoiled coconut dregs could be contaminated by bongkrek acid and toxoflavine which might cause death to those who consume this type of tempe. Generally however tempe is a healthy food, high in protein.It is believed to help prevent diarfhea.

Tuak

“Lapo Tuak Bonauli” and “Lapo Tuak Horas” are two small restaurant just a small distance from one another on a busy street in the suburbs of Jakarta. They are often both full of patrons, mostly Batak people from North Sumatra. Some of them singing to the strain of a guitar, others watching chess players, or just chatting with friends and enjoying their drinks. In Jakarta, “Lapo Tuak” is a small Tapanuli, North Sumatra, offering a special kind of alcoholic drink called “tuak” (palm wine).

Tuak is a cream colored liquid tapped from the male flower stalk of aren trees (Arenga pinnata) of the Palmae family. Aren is a multipurpose plant. Practically all its parts are useful: its trunk can be made into furniture, its young leaves can be used as cigarette papers, its black fibers as roofing for houses, or brushes or brooms, and its fruits is delicious miced into fresh fruit or other sweet drinks. In recent years, however, aren trees have been massively cut down for their starch, and they are becoming more and more rare and harder to find. Fortunately, for tuak lovers, coconut trees (Cocos nucifera) can also be tapped to provide liquid for tuak.

The process of making tuak might look rather strange to non-experts. It starts with the choosing of the right flower stalk. The least sour ones are the best. Then, while the flower stalk is swung to and fro, it is continuously struck for at least 15 to 30 minutes, once or twice a day, with a wooden hammer, during a period of 30 to 35 days, in order to facilitate the flow of the liquid out. When all its flowers are blossoming, the flowers are cut off, but the stalk is left at a length of about 40to 60 centimeters. And the edge of the stalk is tapped,and covered with are leaves in such a way that the liquid still drops into the receptacle, usually early in the morning, the liquid is collected. It is then stored in a non feral and non-aluminal jar. A reasonable amount of raru, the fermenting element, is then put inside the jar. A few hours later the liquid of the aren tree had become tuak.

Raru is the skin of a tree which can only be found in Tapanuli and on Nias island, also in North Sumatra. The longer the raru is kept in the tuak the higher the alcoholic rate of the tuak will be. One glass of tuak is Rp.300-Rp.500, an equivalen of US$ 0.35 (price in 1990). Tuak is usually served with the cooked or roasted meat of a dog or pork. Tuak of good quality has about 6 to 10 percent alcohol content. When stored in a bottle or poured into a glass small bubbles appear from the bottom and from a foam on the surface of the tuak.

Tempoyak

It is a kind of food much favored in Palembang, Lampung (the Southern part of Sumatra) and Kalimantan. It is the fermented flesh of durian (Durio zibethinus), a fruit with a pungent smell and taste. The flesh must be ripened durian, otherwise the taste of the tempoyak will be bitter and sour.

To make tempoyak the flesh of the durian is first separated from its seed, and then a reasonable amount of salt is mixed in. It is then stored untouched for three to four weeks, or even longer. The longer the fermentation period the better the quality of the tempoyak will be. Good tempoyak can last for to a year. It is delicious, sweetly sour and salty and it is served as a side dish. It can also be used as a seasoning for various foods, for example, fried fish. Tempoyak is white in color, and looks like paste.

Dadih

Dadih, best known in West and North Sumatra, is a kind of food made of fermented water buffalo milk. Area people usually prefer water buffalo to cow milk, because water buffalo milk makes a solider dadih than cow milk.

In Medan, North Sumatra, however, another kind of water buffalo called murrah (Tubalus bubalis) is milked to make dadih. At present, murrah are rare, and can only be found in Medan. They were brought into Indonesia from India, and bred by the Indians, a tradition handed down from father to son. Murrah differ from the usual water buffalo in size, they are larger and longer. Their horns coil to the back, and they do not wallow in mud holes.

It is very simple to make dadih. The water buffalo milk is put into a bumbung (bamboo cylinder intact at one end, used as a container), 30 centimeters in length. The open end of the bamboo cylinder covered with banana leaves (Musa sp). The milk is kept in the bumbung for 24 hours to let the fermentation process take place. The end product is dadih, brownish-white in color and fishy in odor.

The fermentation process is caused by microscopic organisms such as Lactobacillus plantarum, some Pennisillium, and especially Geotricum candidum, which can produce lipases able to dissolve the high fat content in the milk. Dadih is sold in traditional market place. To make sure of its quality one can lift up the cover of the bumbung and look inside. Usually dadih is seasoned with spices and served as side dish with rice.

Ikan Peda

Salting fish is one way of preserving unsold fresh fish caught from the sea. (to be continued...)

Senin, 07 Juli 2008

Nature Reserve

Rawa Danau, Nature’s Unsung Reserve

Maybe it is just the fate of those who live next to the famed and eminent to exist in obscurity. How else would one explain the fact that so few have ever heard of the Rawa Danau nature reserve at the western end of West Java?


Without its water, the huge Suralaya power plant on the Sunda Strait would run out of steam and the thriving industrial town of Cilegon in Banten would be doomed to wither. And if ever the water in this unsung reserve should dry up, the island of Java would lose the only hill swamp-forest ecosystem still in existence.

It was in the early morning of a bright, clear day that we arrived at Padarincang, the last village accessible by car on the road from Jakarta towards the reserve. From there on it was a three-hour hike over narrow footpaths, flanked here and there by simple houses, an elementary school, and food stalls. Then, rather abruptly, the land grew more empty. Houses stood abandoned in the stretch where the reserve area began, and old ricefields lay abandoned, overgrown with bushes two to three meters tall, blocking our path. The people had for many years been gone: resettled in more scarcely populated areas outside Java.

At the end of the road there was a wide expanse of marshland. And ahead of us still lay another quarter of an hour of padding in a canoe, which was the only means of transportation available at this point to enter the reserve area proper.

Literally, the name Rawa Danau means “lake of marshes”. The reserve is spread over a valley about 90 meters above sea level. About 2,500 hectares (6,750 acres) large, it was declared a nature reserve in 1921 to protect Java’s even then only remaining mountain swampland forest area.

Severaltimes during the past , farmers hungry for land had tried to reclaim the land from the bogs. That happened in as early as 1835, and again between 1907 and 1910. In 1942, bands of people moved into the reserve and tried to occupy the land. Records compiled in 1983 showed that one-third of the land inside the reserve had been converted into farmland.

Resettling the people to other areas apparently helped, but new problems have since cropped up: water hyacinths (Eichornia crassipes) and other swamp vegetation are proliferating out of control.

Few people have yet realized the lost that has been suffered. Several endemic flora species still flourished, such as Alocasia batamensis and Coix lacryma-jobi l. var Palustris Backer.

But many more are believed to have perished or have been pushed back by intruder species from outside the reserve, such as the tuber Manihot esculenta, sugar canes (Saccharum officinarum), caladium (Colocasia esculenta), and the rice that was initially planted by farmers.

Besides the beauty of its unique vegetation, Rawa Danau also offers a most pleasant environment for bird watchers. The reserve is home to a number of rare bird species, among which are Tulung Tumpuk (barbet, Megalaima javensis), which is endemic to the area, the big raja udang (white colored kingfisher, Halcyon chloris), beo (talking myna, Gracula religiosa), and the elang bondol (brahminy kite, Haliastur indus).

Bird watching in these wilds, though, can have its perilous moments. In our preoccupation with birds, we hardly noticed we had penetrated rather deep into the wastelands until we heard the roar of what must have been a leopard (Panthera pardus) not very far away.

Fortunately nothing more spectacular happened than the passing through the tree branches of groups of monkeys and a flying squirrel (Etaurista elegan) gliding above us with her young clasped to her body. Such rare species, however, have sales value and for that reason they are hunted. In the case of Rawa Danau, the relative obscurity may well be a blessing in disguise. But even as it is, the deterioration of the natural environment inside the reserve is turning it into a less-than-ideal habitat for wildlife.

Meanwhile the population pressure on the reserve area is hardly abating. The relevant question now may be: How long before Java will lose its last more or less intact hilly swamp-forest ecosystem?

For one thing, water hyacinths are slowly taking over. Already, much of the water is covered with floating islands of water hyacinths. As a result, the process of silt forming and sedimentation is accelerating. In due time, all the water will be gone. Perhaps only then will it be realized how serious the impact of the loss of Rawa Danau can be (first published in Voice of Nature, 1990/written by Ika Nurillah Krishnayanti and Christina P. Wulan).

Lingkungan

Menyusuri Rawa Danau

Inilah satu-satunya ekosistem rawa pegunungan di Pulau Jawa yang selamat dari kepunahan. Inilah pengalaman saya dan sahabat saya, Christina P. Wulan semasa kuliah di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia ke cagar alam dekat Ujung Kulon ini.

Namanya memang tidak setenar tetangganya, Ujung Kulon. Namanya, Rawa Danau, cagar alam yang terletak + 45 km kea rah barat daya kota Serang, Jawa Barat, memegang peranan yang tidak kecil dalam penyediaan air bagi kota Cilegon, PLTA Suralaya, industry baja Krakatau Steel, dan pengairan lahan pertanian di sekitarnya. Ke Rawa Danau itulah kami, para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kerja Lapangan.

Jukung, Transportasi Utamanya

Untuk mencapai Rawa Danau, kami harus sampai dulu di Desa Padarincang, desa terakhir yang masih bias dimasuki kendaraan beroda empat. Jalan menuju kawasan cagar alam hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Lama perjalanan sekitar tiga jam dari Desa Padarincang. Ada ojek, tapi hanya sampai di batas desa. Namun jarang ada tukang ojek yang mau bersusah payah menempuh perjalanan di pematang sawah yang sempit.

Tiga perempat jam pertama, kami masih menelusuri jalan desa yang di kiri-kanannya ada warung, rumah penduduk dan sebuah sekolah dasar. Setelah itu, mulailah perjalanan menyeberangi sungai yang katanya ada buayanya, melintasi sawah dan rumah penduduk yang sudah ditinggalkan penghuninya karena mereka bertransmigrasi ke Sumatra.

Sisa Perjalanan yang 15 menit kami tempuh dengan naik jukung. Jukung adalah sebuah perahu terbuat dari batang pohon yang cukup besar dan dipahat membentuk cekungan besar. Jukung dibuat tanpa menggunakan paku dan menurut kepercayaan setempat, perahu jenis ini tidak boleh dicat.

Kami menelusuri rawa yang dipenuhi eceng gondok dan tumbuhan gulma air yang mengancam rawa cepat menjadi daratan. Naik jukung di perairan yang tidak begitu dalam (rata-rata 1,5 m) seperti di Rawa Danau, ternyata memerlukan kecermatan pengemudinya. Jika tidak, jukung yang sarat penumpang dan peralatan observasi itu bias kandas di tanah rawa yang berlumpur.

Dahulu, Rawa Danau merupakan suatu lembah yang luasnya 2.500 hektar dengan ketinggian + 92 m dari permukaan laut. Kawasan itu ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Gubernur Jenderal Belanda tanggal 6 November 1921. Tujuannya adalah untuk melindungi ekosistem rawa pegunungan yang merupakan satu-satunya di Pulau Jawa. Namun, wilayah itu makin sempit akibat usaha pengeringan rawa untuk dijadikan daerah permukiman atau lahan pertanian, serangan tumbuhan eceng gondok dan gulma air lainnya. Kualitas dan kuantitas air rawa pun menurun sehingga mempengaruhi penyediaan air bagi industry baja Krakatau Steel, PLTA Suralaya, serta pengairan bagi lahan di sekitarnya.

Sebenarnya, air yang masuk ke Rawa Danau berasal dari gunung-gunung yang mengelilinginya. Di antaranya Gunung Jamungkal yang berada di sebelah barat. Di kaki gunung itu terdapat beberapa sumber air panas yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat pemandian. Sumber air panas tersebut menjadi petunjuk adanya sisa aktivitas vulkanik di gunung tersebut.

Selama melakukan kerja lapangan di cagar alam Rawa Danau, kami tinggal di pos petugas PHPA (Perlindungan Hutan Pelestarian Alam) yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Baru, permukiman penduduk yang berada di pinggir kawasan cagar alam. Kampung tersebut tidak terlalu banyak rumahnya. Menurut salah seorang petugas PHPA, ada sekitar 75 rumah tangga. Rumah-rumah di kampong itu sebagian besar beratapkan genteng. Tapi semakin naik ke gunung, hamper seluruh rumah beratap daun kelapa. Penduduknya adalah petani. Mereka ada yang berkebun kopi, cengkeh, dan pisang yang ditanam sampai ke gunung. Ada juga yang bermata pencaharian menangkap ikan. Di kampong tersebut belum ada listrik dan sarana pendidikan. Sebuah bangunan sekolah tinggal berupa sisa tembok dengan papan bertuliskan “Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padarincang”.

Menyimpan Jenis Burung Langka

Kegiatan kami selama di Rawa Danau adalah meneliti kualitas air dengan mengukur kadar oksigen yang terlarut, kadar nitrat, total fosfat, natrium, pH air, serta meneliti keanekaragaman algae yang hidup di perairan rawa. Kehadiran serangga tertentu, misalnya capung, di sekitar perairan bisa member petunjuk sudah atau belum tercemarnya perairan tersebut. Selain itu, kami juga meneliti tumbuhan yang ada. Yang belum diketahui, kami buat herbarium. Soalnya, di cagar ala mini tersimpan jenis flora yang jarang dijumpai di rawa-rawa lain di Pulau Jawa, seperti Coix lacryma-jobi palustris.

Observasi burung merupakan kegiatan lain yang mengasyikkan. Entah pagi atau sore hari, kami sudah harus berada di lokasi pengamatan.Alat yang kami gunakan untuk pengamatan burung adalah binokuler, kamera potret, buku catatan, dan buku penuntun lapangan (field guide) berisi deskripsi burung-burung yang ada di Jawa. Tidak jarang kami harus mendekam di suatu tempat atau mengendap-endap selama bermenit-menit untuk mengamati seekor burung. Yang paling seru ketika kami menguntit burung yang bersembunyi dalam vegetasi rawa. Sambil sibuk menebas lebatnya semak, kami juga harus melepaskan lintah-lintah yang gemar menembus pakaian!

Kadangkala burung-burung itu hanya suaranya saja yang dapat kami dengarkan. Namun harus kami catat. Buat para pemula, hal ini menyulitkan. Beruntung, dengan bantuan para penduduk, kami dapat mengidentifikasi burung tersebut. Misalnya burung cipeuw yang bunyinya “cii---poo…cii…poo!”.Atau kalau kami mendengar suara menyerupai bayi menangis, itulah suara elang bondol (Haliastur Indus) yang beberapa tahun kemudian ditetapkan menjadi satwa maskot Provinsi DKI Jakarta.

Masih banyak yang kami lihat selama mengikuti kegiatan di cagar alam Rawa Danau. Dari data observasi kami, cagar alam ini diketahui menyimpan jenis burung langka yang dilindungi, seperti burung tulung tumpuk (Megalaima javensis), burung raja udang besar (Halcyon chloris), burung rangkong, atau beo.

Namun pengalaman menarik tidak selalui menyertai kami. Jukung kami sempat bocor. Tak ada pilihan lain, kami harus bekerja keras menguras air yang masuk dan menambalnya dengan lumpur. Padahal kami harus menjelajahi perairan untuk mengumpulkan vegetasi air.

Kini berpuluh tahun kemudian, kami tak pernah mendengar nama Rawa Danau ini. Kabarnya kawasan ini telah semakin susut. Entah, apakah masih ada ekosistem rawa pegunungan yang tersisa satu-satunya ini di Pulau Jawa. Kabar terakhir, ketika tulisan ini diketik ulang, PT Krakatau Steel telah diprivatisasi (tulisan ini dimuat dalam majalah Intisari Oktober 1990/Ika Nurillah Krishnayanti & Christina P. Wulan).

Kamis, 26 Juni 2008

Observation

Poor Attention to Slum Area in Tanah Abang, Jakarta
Will Affect the Children



When you drive along the toll road from the international airport of Soekarno-Hatta in Cengkareng, to the downtown let yourself have opportunity to take a glance look at the physical development of the city. Concrete flyovers bring you to several directions, apartments are being a new choice to Jakarta rich people, and some new buildings are under construction to fulfill the needs of offices spaces and hotels demands. But if you take a look around below the flyover, there is still untouched area to be paid a close attention. In some parts, you will find many clusters of huts made of used papers or woven bamboos lie under the shadow of the concrete flyover. Some of them are located right below the concrete trunk of the flyover, some are in the ex-paddy fields, and some are along the bank river. It has been a common picture of the capital city of Indonesia for decades.

Entering the downtown, not quite far from the Merdeka Palace, right behind the skyscrapers, there is another slum area. The area is called Tanah Abang. It was such an unpleasant picture when we visit the area at the first time. It harbors hundreds of small houses; their sizes are 4 x 5 meter on average, stand back-to-back, side-by-side without yard for children to play. A few houses have rooms up stairs; while the rests are only 2 x 2 meter in size. Some people who own bigger house divide it and rent the room to other people.

The clusters of houses are inter-connected with narrow and sometimes dark alleys, only one meter wide. The alley is long, winding, and has junctions and branches to many directions. It is not surprisingly that you need some days to adjust yourself to the surroundings unless you could get lost in the middle of nowhere. It is also a common view that you will find somebody’s kitchen is just across the alley, right in front of the other people living room or at the side of the alley. Since the houses are very close each other, the alley often has minimum light. When you walk in the alley it is like you pass through a cave. Therefore probably you need a flashlight when you walk through the alley.

There is also a river across the area with its black thick water full of domestic garbage. Plastic, rubbers, piece of wood, or broken chair are often floating on the river. There are also hanging toilets on some part of the bank river. But it is quite frequent that you will see floating human faeces in the river. Due to the overloading wasted thing in the river, the unpleasant smells are vapor in the air mixed with the humid atmosphere.

The clusters of houses are bordered with a long concrete wall. It separates the block of houses and railway area. This place is sometimes called “red district” since you can find prostitution practices in some huts in the area. But you often also find children take opportunity to play in the area for they have no playing ground in the neighborhood.

The households in the area have four or five members at the average. They eat, sleep, and do daily activity in the same room in the very small house. Consequently, there has been no privacy between children and their parents. In the other hand, children sometimes have to help the parents to get more income since the parents are mostly small entrepreneur or practicing in informal sectors such as motor taxi drivers, food vendors, laborers, employee at the grocery market of Tanah Abang, etc. Therefore it has been become common situation of the children to skip the school and help their parents. You can imagine what kind of life that would be for the children. Such condition would severely affect the future of the children living in the area and become a social problem. This could not be left behind or handled only by one party, but all stakeholders must take serious responsibility to overcome the problem (Ika N. Krishnayanti/June, 25, 2006).

Gardening with Your Own Formula

Some people may say that raising a garden in the back yard or in chamber pots is not easy. It consumes time to take care your plant. You have to provide the plant nutritious materials, fertilizers, pesticides, herbicides, and vitamins. You also need to water the plant regularly. Let alone when the weather is not friendly enough to your plants. There are so many works to do with your garden. But if you know the smart trick to manage the garden, you will be surprise when you find simple and cheap material with simple ways turn into a magical formula to your garden.

The magical formula is called “microbes” and “natural nutrition”. According to Mrs. Setyastuti, the woman who has been promoting and practicing a natural farming system in her home village in Banjarnegara Regency (Central Java Province) and works with Bina Desa as a Technical Assistant for Sustainable Agriculture Program, when you successfully develop the microbes and natural nutrition you can grow any plant you want in your garden. She learned and adopted the technique from Dr. Cho Han Kyu, a famous natural farming practitioner from South Korea.
There are four microbes and many kinds of natural nutrition that make a perfect combination to nurse your plant. These are the steps to make microbes and natural nutrition.

Here are steps to develop microbes:

Put a bowl or two of rice on a flat bamboo plate. Let the rice decayed. In seven days smooth and delicate grey fungus will grow on the top of the rice. The fungus you will have from this stage is named microbe 1.

Then pick the fungus up, mix with 1 kg of bran (by-product of milling rice, usually to feed animal) and put them in a shady place. Let the compound be fermented in seven days. The stage is called microbe 2.

After the fermentation successfully done, pour soil from where you are going to plant the crops/plant to the microbe 2, and mix them thoroughly. Keep the compound of soil and microbe 2 in shady place for seven days to be fermented and then you’ll get the microbe 3.

Finally, you have a ready formula to grow your plant (microbe 4). Then put the microbe 4 into your chamber pot or to your garden. Mix it with the soil where you’ll grow the plant. Don’t forget to give the plants extra food with natural fertilizers and easy-to-make natural nutrition.

Steps to provide natural nutrition:
* Chop any vegetable (such as spinach, carrot, etc.), fish or fish bones, eggshells, cow bones, etc.
* Put each raw material in different stopper glass jar. Add palm sugar into the stopper glass jar. * One part is for the raw material and one part is for the palm sugar (1:1).
* Sealed the glass jar securely. Let the mixture be fermented in seven days. After seven days, you will find the compound produces juicy substance.
* Use the juicy liquid substance to pour your soil around the plant.

It is important to know what ingredients in the raw material that you’ll use as nutritious substance to the plants. For instance, fermented eggshells and fish/cow bones are sources of calcium (limestone); and fermented spinach is good to fulfill the iron nutrient for the growth of the plant. While strong smell of scrub herbs such as basil is good for pests repellent.

If you have already known that each nutrition has its own function for the plant growth and development and to control the pests, then you can make the natural formula by yourself to feed your plants. Now, what are you waiting for? Grow your own plants with your own magical formula (Ika N. Krishnayanti/July 29, 2006).

Selasa, 13 Mei 2008

tentang semut 1

Semut Rangrang, Bukan Sembarang Semut, tapi Pengendali Hama Tanaman


Kalau Anda pernah digigit semut ketika memanjat pohon mangga atau pohon nangka, mungkin Anda akan kesal oleh serbuan semut-semut yang begitu gencar. Seringkali gigitannya membuat kita mengaduh-aduh. Serangga yang kuning dan ramping ini membangun sarangnya di daun-daun. Jumlah mereka bisa mencapai ratusan, mempunyai teritori dan terkenal agresif dalam mempertahankan wilayahnya. Itulah serangga yang kita kenal sebagai semut Rangrang (Oecophylla smaragdina).

Semut Rangrang bukan sembarang semut. Mereka unik dan berbeda dari jenis semut lainnya. Manusia telah menggunakan jasa mereka dalam perkebunan berabad-abad yang lalu. Tercatat, sekitar tahun 300 Masehi di Canton (China), semut ini digunakan untuk mengusir hama pada tanaman jeruk. Orang mengambil sarang-sarang semut ini dari hutan, memperjualbelikannya, lalu meletakkannya di pohon-pohon jeruk jenis unggul. Teknik yang sama tetap dilakukan sampai abad ke-12, dan masih diterapkan di selatan China sampai saat ini. Di perkebunan kopi di Lampung, kita dapat menemukan koloni semut ini bersarang di daun-daun kopi. Ternyata, pada tanaman kopi yang ditempati sarang ini lebih baik keadaannya daripada tanaman yang tidak ditempati semut Rangrang. Produksi kopi pun jadi lebih meningkat.

Para pakar serangga di Ghana telah menggunakan jenis semut Rangrang Afrika (Oecophylla longinoda) untuk mengendalikan hama tanaman cokelat. Kehadiran semut ini ternyata mampu mengurangi dua macam penyakit serius yang disebabkan oleh virus dan jamur, yaitu dengan jalan menyerang dan membunuh kutu daun yang menjadi penyebar penyakit ini. Kutu daun sangat merugikan, karena menghisap cairan tanaman sekaligus memakan jaringannya. Cara pengendalian hama seperti ini kita kenal sebagai “biological control” dan ini merupakan contoh tertua dalam sejarah pertanian.

Biokontrol dan Bioindikator

Penggunaan semut Rangrang sebagai biokontrol ternyata sudah dilakukan pula oleh sebagian penduduk Indonesia, meskipun tidak besar-besaran. Misalnya jika pohon jambu atau pohon mangga di pekarangan terserang hama, mereka akan memindahkan semut-semut Rangrang ke pohon tersebut.

Sebenarnya bukan itu saja manfaat yang diberikan semut Rangrang kepada manusia. Dengan sifatnya yang sangat peka terhadap perubahan udara, manusia dapat menggunakan semut ini sebagai indikator keadaan udara di suatu lingkungan.

Semut Rangrang menyukai lingkungan yang berudara bersih. Jangankan asap pabrik atau asap kendaraan bermotor, asap yang berasal dari pembakaran sampah di kebun saja dapat membuat mereka menyingkir. Tak heran, jika di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya kita semakin sulit menemukan sarang mereka di pepohonan.

Adakalanya jarang pula kita mendapati mereka di daerah perkebunan. Karena sekarang pemberantasan hama dengan pestisida lebih banyak digunakan, sehingga bukan saja hama yang mati tetapi banyak serangga lain yang berguna turut terbunuh. Belum lagi perburuan yang dilakukan manusia terhadap semut Rangrang. Banyak orang mengambil sarang-sarang mereka untuk mendapatkan anak-anak Rangrang (“kroto”) sebagai makanan burung peliharaan. Tentunya hal ini akan menjadikan kian menyusutnya populasi semut Rangrang. Padahal keberadaan semut ini penting sebagai musuh alami serangga hama, sekaligus sebagai indikator biologis (hayati) terhadap kualitas udara di suatu daerah.

Ratu Dilindungi

Mengenal kehidupan serangga yang berjasa ini memang cukup mengesankan. Serangga sosial ini membuat sarang di kanopi hutan-hutan tropis sampai kebun-kebun kopi maupun cokelat. Mereka membentuk koloni yang anggotanya bisa mencapai 500.000 ekor, terdiri atas ratu yang sangat besar, anak-anak, dan para pekerja merangkap prajurit. Semuanya betina, kecuali beberapa semut jantan yang berperan kecil dalam kehidupan koloni. Semut-semut jantan itu segera pergi jika telah dewasa untuk melangsungkan wedding fight yaitu terbang untuk mengawini sang ratu, lalu mereka tidak kembali lagi ke sarangnya.

Di antara anggota koloni, yang paling giat adalah kelompok pekerja. Mereka rajin mencari makan, membangun sarang, dan gigih melindungi wilayah mereka siang dan malam hari. Sekitar setiap satu menit, salah satu pekerja memuntahkan makanan cair ke dalam mulut ratu. Mereka menyuapi ratu dengan makanan yang telah dilunakkan sehingga memungkinkan sang ratu menghasilkan ratusan telur per hari. Jika ratu telah bertelur, para pekerja akan memindahkan telur-telur itu ke tempat yang terlindung, membersihkannya, dan memberi makan larva-larva halus jika telah menetas.

Semut Rangrang dikenal pula sebagai senyum penganyam, karena cara mereka membuat sarang seperti orang membuat anyaman. Sarang mereka terbuat dari beberapa helai daun yang dilekukkan dan dikaitkan bersama-sama membentuk ruang-ruang yang rumit dan menyerupai kemah. Dedaunan itu mereka tarik ke suatu arah, lalu dihubungkan dengan benang-benang halus yang diambil dari larva mereka sendiri. Para pekerja bergerak bolak-balik dari satu daun ke daun lainnya membentuk anyaman.

Makhluk asing yang mencoba menyusup ke daerah sarang, akan mereka halau dengan sengatan asam format yang keluar dari kelenjar racun mereka. Kalau semut jenis lain sengaja membiarkan bahkan memelihara kutu daun hidup dalam wilayah kekuasaan mereka, maka semut Rangrang justru sebaliknya. Mereka berusaha mati-matian menyingkirkan serangga lain yang hidup pada pohon tempat sarang mereka berada. Oleh karena itu, jika kita membedah sarang mereka seringkali kita menemukan bangkai kumbang atau serangga lain yang lebih besar dari semut ini.

Itulah keistimewaan yang dimiliki semut Rangrang sehingga membuat mereka memegang arti penting dalam pengendalian hama secara alami. Cukup sederhana, namun tidak berisiko terhadap lingkungan seperti halnya jika kita menggunakan insektisida kimia.

Pesan Kimiawi

Semut ternyata mempunyai semacam kelenjar yang menghasilkan cairan khusus yang digunakan untuk menandai wilayah mereka. Kelenjar itu disebut kelenjar dubur. Cairan khusus yang dihasilkannya (disebut pheromone) mereka sapukan ke tanah dan hanya para anggota sarang saja yang dapat mengenali baunya. Jadi semut penganyam ini menggunakan pesan kimiawi untuk menuntut rekan satu sarang menuju daerah baru mereka.

Tentu saja jejak bau itu tidak hanya mereka tinggalkan ketika mencari daerah baru dan ketika mempertahankannya, tetapi juga digunakan saat mereka mencari makan. Jika seekor semut menemukan seonggok makanan, dia akan mengerahkan teman-temannya untuk mengangkuti makanan itu ke sarang. Kelenjar duburnya akan meninggalkan jejak bau di sepanjang jalan antara sarang dan lokasi temuan itu. Ketika berpapasan dengan temannya, semut ini memberi rangsangan dengan memukulkan antenanya seraya memuntahkan sedikit makanan yang ditemukan tadi ke mulut rekannya itu (Tabloid Mutiara 1990/Ika Nurillah Krishnayanti & Christina Purnami Wulan/Science American 238 No.6).

tentang ikan 1

Ikan Juga Pakai Taktik untuk Menghindari Lawan


Kalau Anda pernah memperhatikan, mungkin Anda pernah bertanya-tanya, mengapa ada ikan, terutama yang berukuran kecil seperti ikan teri (Engraulis japonicus) atau ikan julung-julung (Hemirhamphus sp.), berenang berkelompok dengan formasi yang kompak dalam jumlah ratusan, ribuan, bahkan jutaan ekor.

Anggota dalam kelompok itu bergerak dengan kecepatan, arah dan jarak antaranggota, sama. Jika pemangsa datang, atau arus keras datang menghadang, ikan-ikan itu segera berpencar secara teratur tanpa bertabrakan. Setelah bahaya lewat, mereka segera bergabung kembali. Gerakan membentuk kelompok demikian itu disebut schooling. Mengapa mereka melakukan schooling?

Jawabannya tergantung dari jenis ikannya. Ikan pemangsa melakukan schooling untuk mempermudah menangkap mangsa, sebaliknya pada ikan non pemangsa, schooling berfungsi untuk menyelamatkan diri.

Umumnya ikan pemangsa lebih suka menyerang ikan yang agak terpisah dari kelompoknya. Perbedaan gerak dari salah satu anggota dalam kelompok menjadi kriteria bagi pemangsa untuk menyergapnya. Pemangsa juga lebih mudah mnyergap ikan dari suatu kelompok yang beranggotakan tiga ekor daripada yang beranggotakan seribu ekor. Tampaknya semakin banyak jumlah anggota, semakin besar keuntungannya membentuk schooling.

Unik

Untuk mampu membentuk schooling, ternyata ikan harus mencapai panjang tubuh tertentu. Seperti sebuah hasil penelitian pada tahun 1962 terhadap ikan Menidia sp. Ikan ini mulai membentuk schooling setelah mencapai panjang 10 mm dengan jumlah anggota kelompok 3-5 ekor, tetapi Cuma terbatas selama 30-60 detik. Schooling yang matang terbentuk ketika panjang ikan mencapai 11-12 mm dan jumlah anggota kelompoknya 30-50 ekor.
Gerakan menghindar ikan yang membentuk schooling juga unik. Sekelompok ikan yang didatangi barakuda (Sphyraena barracuda) – ikan yang bergerak lincah, menyerang cepat, menyelinap di antara kelompok mangsa dan menyerang dengan satu kali gerakan – akan segera berbalik arah dengan membentuk semacam rongga di sekeliling pemangsa.

Setelah itu schooling terpecah menjadi dua di sisi-sisi barakuda. Akhirnya ikan-ikan itu membentuk schooling itu kembali setelah berada di belakang barakuda. Tetapi jika barakuda mulai menyerang, gerakan menyelamatkan diri tadi tidak bisa dipertahankan, sehingga dalam keadaan genting itu setiap ikan akan berpencar lagi dari arah pusat kelompok. Gerakan mereka jadi seperti ledakan bom dengan kecepatan kurang dari 0,2 detik.

Schooling bukan dominasi ikan-ikan kecil. Ikan tuna (Thunnus sp.) yang panjang tubuhnya bisa tiga meter, membentuk schooling sehingga jangkauan perburuannya menjadi semakin luas.
Tuna bersirip biru (Thunnus thunnus) membentuk formasi parabola ketika berburu mangsa. Daerah lengkung parabola dibentuk oleh anggota schooling, sehingga lengkung parabola itu bagai dinding yang keras bagi korban yang terperangkap. Korban yang ketakutan akan menghindari benturan dinding dan lari ke daerah yang kosong, yaitu pusat parabola. Dengan demikian memudahkan tuna sirip biru menangkap mangsanya.

Bentuk schooling ternyata bukan hanya parabola. Kalau dilihat dari atas, ada yang berbentuk kubus, garis, bulan sabit, atau elips. Bentuk-bentuk tersebut bisa berubah setiap saat, bahkan dalam hitungan detik, tergantung dari keadaan suhu, kadar garam, topografi laut, keasaman, dan lain-lain.

Bantuan Alat

Untuk membuat keteraturan yang kompak dalam schooling, ternyata diperlukan bantuan alat, yaitu organ ikan yang berperan secara khusus seperti mata dan gurat sisi. Gurat sisi yang berupa garis memanjang di sisi samping tubuh ikan mulai dari kepala sampai pangkal ekor, berfungsi untuk mengetahui perubahan tekanan air. Perubahan kecepatan sedikit saja dari seekor ikan dalam kelompok bisa mengakibatkan perubahan tekanan air. Perubahan tekanan inilah yangditerima oleh anggota kelompok lainnya sehingga informasi ini segera diikuti dengan perubahan kecepatan oleh anggota kelompok lainnya dalam waktu yang amat singkat.
Organ lain yang berperan dalam pembentukan schooling adalah mata. Mata ternyata berperan penting dalam mengatur jarak dan sudut antara ikan yang satu dengan ikan yang berada di dekatnya.

Keunikan lainnya adalah tidak pernah bercampurnya kelompok ikan yang satu dengan kelompok lainnya, meskin di laut bebas banyak sekali ikan yang membentuk schooling. Ternyata setiap ikan mampu mengenali kelompok masing-masing karena adanya getaran schooling. Getaran ini dapat ditangkap oleh gurat sisi. Lagipula ternyata ikan dengan penciumannya dapat mengenali rekannya sesama satu schooling. Bau rekannya telah terekam dalam otak. Tidak heran, sebab mereka telah hidup bersama semenjak menetas.

Aturan Main

Schooling tidak dapat disamakan begitu saja dengan kelompok, karena ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Kriteria itu antara lain adalah jarak yang harus selalu sama antaranggota. Jarak minimal yang harus dipenuhi adalah 3/10 panjang tubuh, dan biasanya jarak itu satu kali panjang tubuhnya. Karena schooling terdiri dari ikan sejenis, maka jarak antaranggotanya sama pula.

Posisi salah satu anggota dalam schooling akan berubah setelah beberapa waktu. Secara naluri ikan-ikan itu berganti tempat secara periodik, untuk memberikan kesempatan ikan yang berada di tengah bertukar tempat ke tepi. Hal ini dilakukan karena tampaknya ikan yang berada di sebelah tepi kelompok – terutama pada kelompok ikan non pemangsa – memperoleh kesempatan lebih besar untuk mendapat makanan.

Dalam kelompok ikan yang membentuk schooling, tidak ada yang menjadi pimpinan dan tidak ada yang menjadi anggota. Setiap individu dalam kelompok itu saling menyamakan arah dan kecepatan satu sama lain.

Ini berbeda dengan dua ekor ikan yang berenang bersama, karena salah seekor ikan akan bertindak sebagai pimpinan. Si pengikut akan menyamakan arah dan kecepatannya dengan pimpinan, sementara pimpinan tidak perlu terpengaruh oleh gerakan pengikutnya.
Schooling ada yang terus-menerus terbentuk (disebut schooling obligat) dan ada juga yang terbentuk pada saat-saat tertentu (disebut schooling fakultatif). Misalnya saat ikan non pemangsa yang menghadapi bahaya atau saat ikan pemangsa berburu. Pada saat tidak membentuk schooling, ikan teri memang terlihat mengelompok, tetapi pengelompokannya tidak teratur. Jika pemangsa atau ombak besar datang, barulah mereka mulai bergerak bersama secara kompak. Gerakan mereka terlihat seperti menari-nari.

Schooling obligat pun sebenarnya tidak berlangsung terus-menerus. Setelah matahari terbenam, setiap ikan dalam kelompok schooling obligat itu menyebar atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Tetapi jarak mereka tidak terlalu jauh satu dengan yang lainnya. Malam hari biasanya digunakan untuk makan dan beristirahat. Ketika pagi datang, schooling obligat akan terbentuk kembali (Kompas Minggu, 6 Agustus 1980/Christina P. Wulan & Ika Nurillah Krishnayanti/mahasiswi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia).