Kamis, 25 September 2008

Pelestari Lingkungan

Mereka Penjaga Lingkungan

Pada bulan April, Mei, dan Juni ada tiga hari yang diperingati orang sedunia, yaitu Hari Bumi (22 April), Hari Buruh atau May Day (1 Mei), dan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni). Apa pun yang melatarbelakangi ditetapkannya ketiga hari itu untuk diperingati, masih sedikit orang yang menyadari makna di balik ketiganya.

Perjuangan kelas buruh untuk mencapai kesejahteraan hampir selalu menemui batu sandungan, karena hampir semua pihak berpaling kepada modal. Pengusaha, pemilik tanah, “wakil rakyat”, bahkan peraturan perundangan pun (termasuk para pembuatnya) memalingkan wajah mereka kepada uang. Buruh semakin terpinggirkan dan tak memiliki kepastian masa depan. Lihatlah kasus lumpur Lapindo, tampak jelas siapa saja yang sudah berani membuka topeng dan berpaling ke modal.

Sementara manusia saling bertikai, banyak orang berkata, bumi semakin tua makin berkurang kemampuannya untuk menopang kehidupan miliaran manusia dan makhluk hidup lainnya beserta aktivitas mereka. Stephen Hawking, fisikawan terkemuka dunia seperti dikutip Kompas (2/5/2007) mengatakan, “Kehidupan di bumi semakin berada dalam risiko untuk disapu oleh bencana, seperti pemanasan global mendadak, perang nuklir, virus hasil rekayasa genetika, dan bahaya lain”.

Namun lingkungan rusak, banjir, tanah longsor, gelombang panas, perubahan iklim, dan berbagai malapetaka lain tampaknya bukan karena semata bumi yang semakin renta. Tetapi tangan-tangan manusia yang semakin rajin menjamah dan memperlakukan sumber daya yang bukan miliknya secara sewenang-wenang telah berperan besar dalam merusak alam. Di negara maju, ramai-ramai pemilik modal membolongi lapisan ozon dengan gas-gas buangan industri mereka sehingga gas-gas berbahaya masuk ke bumi tanpa terhalang. Sementara di negara berkembang, seperti Indonesia, setiap hari orang menggunduli hutan dengan kecepatan 10 x lapangan sepak bola per menit. Bahaya lingkungan dan kesehatan juga telah lama menyusup ke pertanian kita.

Demi meraup keuntungan berlipat ganda, perusahaan-perusahaan multinasional penghasil benih dan pestisida, bersekongkol dengan penyelenggara negara dan memaksa petani membeli benih dan asupan pertanian hasil rekayasa genetik. Kini, kelapa sawit, kopi, vanili, tebu, dan cokelat transgenik bergantian menyerbu kebun-kebun di negara berkembang, menyusul jagung dan kapas hasil rekayasa genetik yang telah lebih dulu merusak kehidupan petani kecil. Sementara itu, “pupuk organik” yang terbuat dari tepung tulang sapi gila pun meluncur deras ke negeri-negeri yang peraturannya amburadul.

Perebutan penguasaan sumber-sumber agraria lainnya juga berlangsung di Bumi Nusantara. Penguasa, penyelenggara negara, pemilik modal raksasa, dan kekuatan militer dengan paksa berusaha menguasai sumber-sumber agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran segelintir orang berkuasa. Tak segan-segan mereka merampasnya dari tangan rakyat miskin yang hanya berharap dapat hidup dari sejengkal tanah. Begitu juga sumber air bersih yang makin sulit didapat rakyat, masih juga menjadi incaran industri-industri air mancanegara yang memanfaatkan kaki-tangan mereka di berbagai daerah.

Bagi pemilik modal, bumi, lingkungan, bahkan manusia dan makhluk hidup seisi alam ini hanyalah komoditas yang dapat dibongkar-pasang lalu dimainkan harganya di pasar saham. Namun bagi petani, nelayan, buruh, dan rakyat kecil lainnya, sejengkal tanah, setetes air, segenggam benih yang mereka miliki adalah benteng pertahanan dalam hidup ini. Merekalah penjaga alam, pelestari lingkungan di garis terdepan. Pernahkah kita menyadarinya?

Tidak ada komentar: