Perdagangan yang Adil untuk Ketahanan Pangan Semua
Ketika manusia masih sedikit jumlahnya, mereka yang punya bahan pangan akan menukarkan sebagian miliknya dengan milik orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pangan memang berharga untuk dipertukarkan saat itu. Kini, dari berbagai pelosok bumi manusia menghasilkan pangan. Namun sesungguhnya lebih banyak manusia yang tidak kebagian pangan, entah karena tidak dapat mengakses pangan itu, seperti orang miskin, atau karena keterbatasan sumber daya yang dapat diolah menjadi pangan seperti di daerah kering, atau petani tak punya tanah untuk diolah. Namun tidak sedikit orang yang terbatas aksesnya kepada sumber daya pangan akibat tidak layak dikonsumsinya pangan tersebut.
Mengingat memperoleh pangan yang layak, aman, dan terjangkau merupakan hak asasi manusia, maka dengan kenyataan di atas banyak manusia menjadi korban pelanggaran hak atas pangan ini, seperti muncul pada kasus-kasus rawan pangan, busung lapar, kurang gizi, hingga kematian.
Masih sedikit orang yang menyadari bahwa harga produk pertanian yang murah menyumbang pada pelanggaran hak atas pangan bagi petani sebagai produsen. Karena harga komoditas pertanian yang layak bagi petani (produsen sekaligus konsumen) juga merupakan hak asasi yang melekat pada petani. Oleh karena itu, mendapatkan akses pasar dan harga yang pantas atas komoditas yang dihasilkan, merupakan prasyarat agar petani dapat menyejahterakan diri dan keluarganya. Hal itu dapat terwujud dalam sistem perdagangan produk pertanian yang berkeadilan. Bukannya konsep Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) yang ditawarkan World Trade Organization (WTO) yang lebih berpihak kepada negara maju dan pemilik modal.
Dengan konsep-konsep yang diusung WTO, komoditas petani dari negara berkembang tidak akan mendapat perlindungan. Dan mudah dijatuhkan oleh produk dari negara maju yang sektor pertaniannya dibantu penuh oleh pemerintahnya. Produk-produk itulah yang kini membanjiri negara berkembang. Tak mengherankan, protes negara berkembang (terutama negara yang tergabung dalam kelompok G 33) menjadi batu sandungan dalam perundingan-perundingan pertanian di WTO.
Sementara itu, pemerintah sibuk mengeluarkan kebijakan konversi lahan dengan berbagai dalih. Konversi lahan ini bukan semata untuk kepentingan pertanian, namun terkait dengan paradigma (cara pandang) pertanahan yang dianut penguasa. Maka lahan petani berpindah tangan dan berganti fungsi menjadi mesin-mesin penghasil uang. Contohnya lahan penghasil pangan menjelma menjadi kebun-kebun sawit, coklat, atau menjadi kawasan wisata yang lebih cepat menghasilkan uang bagi pemilik modal. Tidak sedikit pula petani yang menjadi tuna kisma (tak punya tanah) atau menjadi buruh di lahannya sendiri.
Di sisi lain, petani terus dipaksa mensubsidi masyarakat perkotaan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, sementara harga produk pertanian itu sendiri dihargai sangat murah sehingga petani tetap tidak sejahtera. Seperti beras lokal petani kita, selain murah juga dihajar beras impor.
Rancangan Undang-undang Lahan Abadi yang sedang dibahas pun memihak para pemilik modal, bahkan melegalkan kepemilikan lahan oleh perusahaan. RUU ini akan menjadi pintu masuk modal semata, penguatan kepemilikan lahan di tangan segelintir orang, penyeragaman pangan karena sangat bias padi (sawah), dan petani hanya menjadi sapi perah yang terus menderita.
Perdagangan pertanian yang adil sudah selayaknya dirasakan petani dan kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
pemerintah sebagai regulator harus membuat kebijakan yang berkeadilan kepada petani baik produsen maupun konsumen
di lain sisi, petani harus meningkatkan kemandirian dan sifat kegotongroyongan sesamanya, sehingga tidak hanya tergantung pada bantuan pemerintah...
jaya pertanian!
Posting Komentar