Inilah satu-satunya ekosistem rawa pegunungan di Pulau Jawa yang selamat dari kepunahan. Inilah pengalaman saya dan sahabat saya, Christina P. Wulan semasa kuliah di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia ke cagar alam dekat Ujung Kulon ini.

Jukung, Transportasi Utamanya
Untuk mencapai Rawa Danau, kami harus sampai dulu di Desa Padarincang, desa terakhir yang masih bias dimasuki kendaraan beroda empat. Jalan menuju kawasan cagar alam hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Lama perjalanan sekitar tiga jam dari Desa Padarincang. Ada ojek, tapi hanya sampai di batas desa. Namun jarang ada tukang ojek yang mau bersusah payah menempuh perjalanan di pematang sawah yang sempit.
Tiga perempat jam pertama, kami masih menelusuri jalan desa yang di kiri-kanannya ada warung, rumah penduduk dan sebuah sekolah dasar. Setelah itu, mulailah perjalanan menyeberangi sungai yang katanya ada buayanya, melintasi sawah dan rumah penduduk yang sudah ditinggalkan penghuninya karena mereka bertransmigrasi ke Sumatra.
Sisa Perjalanan yang 15 menit kami tempuh dengan naik jukung. Jukung adalah sebuah perahu terbuat dari batang pohon yang cukup besar dan dipahat me

Kami menelusuri rawa yang dipenuhi eceng gondok dan tumbuhan gulma air yang mengancam rawa cepat menjadi daratan. Naik jukung di perairan yang tidak begitu dalam (rata-rata 1,5 m) seperti di Rawa Danau, ternyata memerlukan kecermatan pengemudinya. Jika tidak, jukung yang sarat penumpang dan peralatan observasi itu bias kandas di tanah rawa yang berlumpur.
Dahulu, Rawa Danau merupakan suatu lembah yang luasnya 2.500 hektar dengan ketinggian + 92 m dari permukaan laut. Kawasan itu ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Gubernur Jenderal Belanda tanggal 6 November 1921. Tujuannya adalah untuk melindungi ekosistem rawa pegunungan yang merupakan satu-satunya di Pulau Jawa. Namun, wilayah itu makin sempit akibat usaha pengeringan rawa untuk dijadikan daerah permukiman atau lahan pertanian, serangan tumbuhan eceng gondok dan gulma air lainnya. Kualitas dan kuantitas air rawa pun menurun sehingga mempengaruhi penyediaan air bagi industry baja Krakatau Steel, PLTA Suralaya, serta pengairan bagi lahan di sekitarnya.
Sebenarnya, air yang masuk ke Rawa Danau berasal dari gunung-gunung yang mengelilinginya. Di antaranya Gunung Jamungkal yang berada di sebelah barat. Di kaki gunung itu terdapat beberapa sumber air panas yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat pemandian. Sumber air panas tersebut menjadi petunjuk adanya sisa aktivitas vulkanik di gunung tersebut.
Selama melakukan kerja lapangan di cagar alam Rawa Danau, kami tinggal di pos petugas PHPA (Perlindungan Hutan Pelestarian Alam) yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Baru, permukiman penduduk yang berada di pinggir kawasan cagar alam. Kampung terseb

Menyimpan Jenis Burung Langka
Kegiatan kami selama di Rawa Danau adalah meneliti kualitas air dengan mengukur kadar oksigen yang terlarut, kadar nitrat, total fosfat, natrium, pH air, serta meneliti keanekaragaman algae yang hidup di perairan rawa. Kehadiran serangga tertentu, misalnya capung, di sekitar perairan bisa member petunjuk sudah atau belum tercemarnya perairan tersebut. Selain itu, kami juga meneliti tumbuhan yang ada. Yang belum diketahui, kami buat herbarium. Soalnya, di cagar ala mini tersimpan jenis flora yang jarang dijumpai di rawa-rawa lain di Pulau Jawa, seperti Coix lacryma-jobi palustris.
Observasi burung merupakan kegiatan lain yang mengasyikkan. Entah pagi atau sore hari, kami sudah harus berada di lokasi pengamatan.Alat yang kami gunakan untuk pengamatan burung adalah binokuler, kamera potret, buku catatan, dan buku penuntun lapangan (field guide) berisi deskripsi burung-burung yang ada di Jawa. Tidak jarang kami harus mendekam di suatu tempat atau mengendap-endap selama bermenit-menit untuk mengamati seekor burung. Yang paling seru ketika kami menguntit burung yang bersembunyi dalam vegetasi rawa. Sambil sibuk menebas lebatnya semak, kami juga harus melepaskan lintah-lintah yang gemar menembus pakaian!

Kadangkala burung-burung itu hanya suaranya saja yang dapat kami dengarkan. Namun harus kami catat. Buat para pemula, hal ini menyulitkan. Beruntung, dengan bantuan para penduduk, kami dapat mengidentifikasi burung tersebut. Misalnya burung cipeuw yang bunyinya “cii---poo…cii…poo!”.Atau kalau kami mendengar suara menyerupai bayi menangis, itulah suara elang bondol (Haliastur Indus) yang beberapa tahun kemudian ditetapkan menjadi satwa maskot Provinsi DKI Jakarta.
Masih banyak yang kami lihat selama mengikuti kegiatan di cagar alam Rawa Danau. Dari data observasi kami, cagar alam ini diketahui menyimpan jenis burung langka yang dilindungi, seperti burung tulung tumpuk (Megalaima javensis), burung raja udang besar (Halcyon chloris), burung rangkong, atau beo.
Namun pengalaman menarik tidak selalui menyertai kami. Jukung kami sempat bocor. Tak ada pilihan lain, kami harus bekerja keras menguras air yang masuk dan menambalnya dengan lumpur. Padahal kami harus menjelajahi perairan untuk mengumpulkan vegetasi air.
Kini berpuluh tahun kemudian, kami tak pernah mendengar nama Rawa Danau ini. Kabarnya kawasan ini telah semakin susut. Entah, apakah masih ada ekosistem rawa pegunungan yang tersisa satu-satunya ini di Pulau Jawa. Kabar terakhir, ketika tulisan ini diketik ulang, PT Krakatau Steel telah diprivatisasi (tulisan ini dimuat dalam majalah Intisari Oktober 1990/Ika Nurillah Krishnayanti & Christina P. Wulan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar