blue dragonfly

Capung adalah salah satu hewan bioindikator air bersih atau petunjuk hayati, yang dapat memberi informasi kondisi lingkungan perairan di sekitar kita. Karena nimfa capung tidak akan dapat hidup di air yang sudah tercemar atau di sungai yang tidak ada tumbuhannya. Jadi secara tidak langsung, kehadiran capung dapat menandakan bahwa perairan sekitar masih bersih. Nimfa capung juga memakan jentik-jentik nyamuk yang dapat menularkan penyakit berbahaya seperti malaria dan demam berdarah.

INDONESIA, jangan melempem !!

Di mana rasa senasib sepenanggungan dan teman seperjuangan ketika mengusir para penjajah dahulu? Sungguh mengerikan jika rakyat (kaum marjinal) harus berjuang sendiri. Sambil melawan kekuatan asing, mereka juga harus berkelahi dengan saudara sendiri yang mau sejahtera sendiri. Apa artinya senang sendiri, merdeka sendiri sementara yang lain menderita? Tampaknya kita perlu merenungkan bait ke-3 lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang pada penggal terakhirnya berbunyi: ”...Slamatkan tanahnya, slamatkan putranya, pulaunya lautnya, semuanya .... Majulah negerinya, majulah pandunya, untuk Indonesia Raya”.

novel temenku yang juara! Karya drh. Yonathan Rahardjo

Imperialisme Modal & Kejahatan Globalisasi

Perkembangan bioteknologi modern telah mencapai perkembangan yang sangat pesat, sekaligus menjadi kegiatan yang menyedot investasi besar untuk penelitian dan pengembangannya. Ilmuwan bioteknologi kini dapat melakukan apa saja yang sebelumnya tak terbayangkan, seperti memindah dan menukar gen antar makhluk hidup sehingga “terciptalah” organisme baru hasil rekayasa genetis. Produk-produk bioteknologi modern ini masih banyak yang belum diketahui keamanannya bagi lingkungan dan kesehatan konsumen (manusia dan hewan). Sementara perusahaan bioteknologi sudah tak sabar melepas produknya ke pasar.

Berbagai upaya pun dilakukan untuk meraih keuntungan agar dapat mengembalikan dana besar yang telah dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan produk mereka. Bagaimana dampaknya terhadap dunia? Buku ini mengajak pembaca menelusuri perkembangan bioteknologi modern beserta segala konsekuensi yang ditimbulkannya (Penyunting: Hesty Widayanti & Ika N.Krishnayanti; Penerbit:KONPHALINDO & Insist Press; 2003; xvi + 258 hlm).

Terumbu Karang (Penyusun: Dicky Hardianto, Ika N. Krishnayanti, Tri Supyani)

Terumbu karang Indonesia sedang dan telah mengalami kerusakan hebat. Hasil penelitian proyek ASEAN-Australia pada tahun 1986 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang Indonesia yang terbentang dari Kepulauan Seribu sampai Ujung Kulon, sudah rusak parah. Sementara itu kondisi sungai-sungai di daratan mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang karena sedimen atau endapan yang dibawanya. Endapan itu berasal dari pencemaran yang berlangsung lebih dari 30 tahun terakhir. Meningkatnya kebutuhan ikan segar jenis kerapu dan napoleon juga menyebabkan bertambahnya agen-agen penangkapan ikan yang cenderung hanya ingin mempeoleh untung besar dalam waktu singkat. Berbagai permasalahan terumbu karang, berikut alternatif pemecahannya akan dibahas lebih lanjut di dalam buku ini secara ringkas. Disajikan dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, enak dibaca, dan menarik dengan ilustrasi dan foto, buku kecil ini sangat berguna bagi masyarakat luas, baik dari kalangan pengajar, pengambil keputusan, wartawan, pecinta lingkungan, mahasiswa, pelajar maupun masyarakat awam atau siapa saja yang ingin mengetahui dunia terumbu karang dan kelangsungan hidupnya (Penerbit KONPHALINDO, 1998: vii + 55 hlm).

Apa isi buku ini?

Penjarahan terhadap rasa keadilan rakyat kecil yang jarang kita perhatikan adalah yang menimpa nelayan. Nasib nelayan sebagai rakyat termiskin dari yang miskin, sering dilupakan di negeri maritim ini. Jeritannya mulai menghentak publik saat terjadi kerusuhan di Deli dan Belawan, Sumatera Utara, April hingga Agustus 1998. Puluhan kapal dan pukat harimau dibakar massa, lima mobil, kantor KUD, dan tiga gudang ikut diamuk nelayan yang marah karena pemerintah tidak menindak pengusaha besar yang menggunakan pukat harimau. Mereka tidak tahan lagi diperlakukan tidak adil gara-gara hasil tangkapannya selalu dijarah pengusaha besar yang dibekingi aparat. Apakah ketidakadilan terhadap nelayan hanya terjadi di Sumatera Utara? Bagaimana sesungguhnya bentuk kongkrit praktek ketidakadilan yang terpendam selama 32 tahun itu?
Buku ini berusaha mengungkapkan permasalahan dunia nelayan dengan gamblang dan tuntas. Buku hasil penelitian lapangan ini, memfokuskan studi nelayan miskin di Desa Kirdowono, di Pantai Utara Jawa Tengah, di mana selama Orde Baru terbukti berlangsung proses pemiskinan nelayan. Dengan mengupas masalah kemiskinan nelayan berdimensi lingkungan yang disajikan dengan jernih, enak dibaca, dan membumi karena dihimpun dari penelitian lapangan selama beberapa tahun, buku ini menjadi sangat bermanfaat bagi kalangan pengajar, pengambil keputusan, wartawan, pecinta lingkungan, mahasiswa, aktifis ornop, maupun masyarakat luas yang peduli terhadap masalah-masalah ketidakadilan dan lingkungan.

Penerbit : KONPHALINDO
Terbit : 1998
Penulis : Pujo Semedi H. Juwono
Editor : Dicky Hardianto & Ika N. Krishnayanti
xiv + 237 hlm.

Masyarakat Pinggiran yang Kian Terlupakan: Membedah Persoalan Nelayan Tradisional Sumatera Utara

Indonesia sangat kaya akan sumberdaya laut dan pesisir, tetapi ironisnya nelayan tetap hidup miskin. Nelayan yang bermukim di sekitar pesisir dan laut yang menggantungkan hidup pada sumber daya di sekitarnya itu umumnya adalah nelayan tradisional. Selama ini mereka terpinggirkan, padahal banyak memberikan sumbangsih bagi kebutuhan konsumsi ikan di negeri ini.
Sayangnya, tidak banyak pihak yang mau peduli dengan nasib mereka. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dibuat pemerintah yang bersifat setengah-setengah dan tidak berpihak kepada nelayan tradisional. Seperti pelarangan trawl (pukat harimau) dan alat tangkap sejenisnya yang penuh kekerasan, bantuan ekonomi yang tidak dikelola dengan baik, pendidikan dan ketrampilan untuk anak dan istri nelayan, pemberian izin pembukaan tambak udang yang mengancam lingkungan dan perikehidupan nelayan, dan sebagainya.
Selain memaparkan kompleksitas persoalan utama nelayan tradisional seperti kemiskinan, teknologi alat produksi, kondisi anak dan perempuan, tradisi pesisir, kebijakan publik dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut, buku ini juga sarat dengan fakta dan data hasil investigasi dan penelitian pada nelayan tradisional di Pantai Timur dan Barat Sumatera Utara yang menampilkan realitas kehidupan mereka.
Dengan kemasan bahasa yang mudah dicerna, diharapkan buku ini dapat memberi pemahaman lebih dalam kepada pembaca betapa kehidupan nelayan tradisional di Sumatera Utara (dan umumnya di Indonesia), penuh dengan berbagai persoalan sehingga sangat memprihatinkan. Setelah terpinggirkan oleh kepentingan yang lebih berkuasa, kini nelayan tradisional menghadapi kenyataan pahit: pembiaran pelanggaran hak asasi dan kedaulatan mereka. Dan akhirnya keberadaan mereka makin dilupakan orang.

Penerbit : JALA bekerja sama dengan KONPHALINDO
Terbit : 2002
Penulis : Tim JALA
Editor : Leonardo Marbun & Ika N. Krishnayanti xix + 390 hlm.

Provinsi Kalimantan Barat menyimpan kekayaan utama berupa hutan tropik yang luas dan lahannya dimanfaatkan penduduk setempat untuk pertanian ladang dalam kondisi yang sepenuhnya berkelanjutan. Praktek perladangan selama ribuan tahun di wilayah ini tidak menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan, sehingga ketika komersialisasi hutan dimulai sekitar akhir dasawarsa 60-an, para pengusaha masih menemukan hutan tropik yang amat melimpah.
Keadaan itu kini berubah. Hutan tropik diubah menjadi lahan eksploitasi kayu hutan yang dilanjutkan dengan HTI atau perkebunan. Usaha penebangan melalui HPH ternyata sangat boros hutan, jauh lebih boros dibanding dengan perladangan yang selama ini dianggap sebagai sumber kerusakan hutan. Program TPI yang ditujukan pemerintah kepada para pengusaha HPH untuk menjamin kelestarian rotasi penebangan sering dilakukan serampangan, sekedar memenuhi persyaratan.
Buku ini menyajikan perubahan hutan tropik di Kalimantan Barat yang ternyata tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, tetapi juga membawa masalah sosial. Usaha HTI dan PIR banyak mendatangkan masalah lingkungan, terutama karena sifatnya yang monokultur (mananam satu jenis tanaman), membutuhkan masukan unsur hara yang sangat tinggi, dan rentan terhadap serangan hama endemik. Sementara masalah sosial timbul karena HTI memerlukan tenaga kerja yang besar tetapi tenaga kerja yang diserap dari Jawa dan Sumatera (melalui program transmigrasi/ HTI-trans), bukannya penduduk setempat. Ironisnya, para transmigran yang diharapkan memberi contoh bertani kepada penduduk setempat, malah meninggalkan desa transnya untuk mengadu nasib di kota. Kehidupan modern yang bersumbu di kota-kota merembes ke pedesaan dalam bentuknya yang paling dangkal (baca: gaya hidup), bukannya pemberdayaan potensi sosial ekonomi masyarakat.
Penerbit : KONPHALINDO
Terbit : 1996
Penulis : Pujo Semedi & Bina Riyanto
Editor : Ika N. Krishnayanti
xxv + 94 hlm.

Database Taman Nasional Indonesia

Buku ini berisi informasi tentang jumlah, luas, potensi yang dimiliki taman nasional, serta permasalahan yang terjadi di taman nasional dan upaya pemecahannya, disertai keterangan pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia.
Buku ini perlu dimiliki kalangan yang bergerak di bidang konservasi, kebijakan, akademisi/peneliti, mahasiswa, dan perpustakaan atau lembaga pengelola informasi/dokumentasi.

Penerbit : KONPHALINDO
Terbit : 2001
Penyusun : Dian Widiyanti
Editor : Ika N. Krishnayanti
xi + 142 hlm.

Watch Your Foods and Drinks

A Brief of Hidden Hazardous Substances in Our Food

In modern life people tends to make their life easier and more practical. You might be used to carry your drinking water in a used plastic bottle of mineral water. It’s easier, cheaper, and practical to bring it everywhere and you may refill it from a dispenser at your office. But do you know that plastic bottle or polyethylene terephthalate (PET) contains carcinogenic substance that triggers cancers? The used bottled of mineral water is actually safe as a re-use container for 1-2 times only. But the habit of cleaning the bottle just a few times could ruin the plastic layer and then the carcinogenic substances will dissolve into the drinking water in the bottle.

Another way to package food is with wrapping paper (by using special paper for food packaging and non-packaging paper such as used newspaper, magazines, etc.). Those papers contain heavy metal (Pb), which is above the safe level. The metal could get into human body through respiratory or digest systems, then it flows into the blood circulation and spread to various tissue in the body, for instance kidney, lever, brain, nerve system, and bones.

There are 3 P of symptoms that are pale, pain, and paralysis will identify metal contamination on adult human being. The contamination could be the chronic one and the acute one. If you a freak snack lover, such as fried banana, fried tofu or fried tempe (soybean cake), you should be very careful if you buy those kind of snack from food vendors on the street since the vendors usually have those food wrapped with used paper as mentioned. The metal substance in wrapped paper will be absorbed easier by the hot fried food. To avoid you from the hazardous substances, put the hot fried food on a glass plate. Do not put it on the plastic ones.

Styrofoam or polystyrene has long been another favorite choice in food business since it does not leak easily, practical, keeping the food stays fresh and long last, cheaper, and have a nice appearance. It was the Food Safety Division of Japanese Government revealed on July 2001 that a research has concluded Styrofoam residual in food could cause endocrine disrupter, a disease coming from the disrupting of endocrinology system and human reproduction due to the carcinogenic substance in the food. The Styrofoam has been identified as a container that contains carcinogenic substance.
Therefore people should pay more attention on and have a thorough selection on food packaging, not just based on the simple and practical consideration (extracted from various sources/Ika N. Krishnayanti/May 22, 2006).

free style...

blurp...blurp.. Air adalah satu-satunya substansi di planet bumi yang mampu hadir dalam tiga peran, yaitu sebagai zat cair, padat (es), dan gas (uap). Air terdapat di dunia dalam komposisi 97% di laut, 2,4% berupa karang es, dan 0,6% di sungai-sungai dan air tanah. Air yang 0,6% inilah yang digunakan untuk seluruh aktivitas manusia. Di seluruh dunia terdapat sekitar 326 juta kubik mil (1,4 juta km3), atau sekitar 1 triliun galon air per mil kubik. Dari jumlah itu, air di bumi ini Cuma 3% saja yang “fresh” alias dapat langsung diminum. Dari 3% itu, sekitar 3/4nya berwujud glacier dan es yang membeku di puncak-puncak gunung. Jumlah itu sama dengan jumlah air yang mengairi seluruh sungai di bumi selama 1.000 tahun. Mulai dari lahir hingga berhenti bernafas, rata-rata seorang manusia menghabiskan 16.000 galon air (60.600 liter). Setiap tetes air yang kita minum terdiri dari molekul yang usianya tidak terbatas. Sehingga, mungkin saja molekul air yang kita minum pernah membasuh wajah Julius Caesar, atau pernah menjadi penawar dahaga mahapatih Gadjah Mada (dari berbagai sumber).