Kamis, 01 Agustus 2013

Bikin Kompos dan Kemandirian Petani



Bikin Kompos Sendiri, Lepaskan Diri dari Ketergantungan

Kicauan suara burung bersautan dengan suara 'rengekan' kambing di belakang rumah, seakan mengalunkan sebuah lagu dengan iringan hembusan angin lembut. Udara begitu sejuk siang itu di Kecamatan Purwonegoro, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Suasana sekitar rumah yang dipenuhi hijaunya dedaunan tanaman di halaman muka rumah menambah kesejukan mata yang memandang.
Bu Bayinah sedang memotong rumput bahan dasar kompos
Seorang perempuan berkerudung keluar dari rumah dan menyambut kehadiran kami dengan wajah berseri. Setelah beramah-tamah sejenak, perempuan yang berprofesi sebagai petani ini menceritakan pengalamannya dalam mengembangkan pertanian alami (natural farming).
            “Saya ini petani PMDN alias Petani Modal Dengkul dan Nekad,” ungkap Bu Mubayyinah Jauhari, perempuan petani dari Dusun Pesantren, Merden Wetan, Banjarnegara, Jawa Tengah. “Semula saya berangkat dari keinginan memperbaiki lahan yang telah rusak, bukan untuk menghasilkan panen yang tinggi. Saya yakin, kalau lahan yang hancur bisa saya perbaiki, akan menghasilkan panen yang sehat, dan akhirnya akan mendatangkan keuntungan baik bagi petani maupun konsumen”.
Bu Bayinah mulai mengembangkan tanaman padi organik seluas setengah hektar. Untuk mengembangkannya secara alami, dia membutuhkan pupuk kompos yang murni. Dia pun ingin memaksimalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya guna mendapatkan kompos itu. Karena dengan membuat pupuk kompos  sendiri, Bu Bayinah berharap bersama keluarga dan petani lainnya mereka tidak akan tergantung lagi pada produsen besar. Kini, dari 1 kg benih padi, ia dapat menghasilkan panen 2 ton (berat basah), dengan rata-rata harga jual berasnya Rp.8.000/kg.
“Petani bisa bersikap profesional dan mencintai pekerjaannya, melakukannya sesuai keinginan alam serta bisa memperbaiki lahannya yang telah rusak selama ini,” jelas Bu Bayinah.
Sesekali Bu Bayinah mendekati dan menyentuh daun tanaman di pekarangan rumahnya. Dengan selalu menyunggingkan senyum, ia menceritakan pengalamannya. Menurutnya, bahan-bahan alami yang ada di sekitar rumahnya sangat bermanfaat, dapat menghasilkan nutrisi untuk pertumbuhan alami tanaman dan hewan ternaknya.
Dia mencontohkan, air yang ada di dalam pohon pisang bisa menjadi bahan untuk mendatangkan mikroorganisme lokal melalui proses fermentasi dengan cara menambahkan gula. Kemudian Bu Bayinah memadupadankan mikroorganisme ini dengan kotoran ternak untuk menghasilkan kompos yang bisa memperbaiki lahan yang rusak akibat pemakaian pupuk kimia secara intensif.
Rumput tataria yang tumbuh di sekitar rumahnya pun bisa bermanfaat sebagai makanan pokok kambing. Tanaman rumpun sejenis padi-padian seberat 1 kilogram ini, jika menjadi pakan kambing maka sekitar 50 persennya dapat menghasilkan kotoran kambing yang menjadi pupuk kompos.  Tanaman orok-orok (Clotalaria) juga banyak menghasilkan nitrogen alami sebagai pengganti urea, selain bermanfaat pula sebagai pakan kambing.
Di sekitar rumahnya, Bu Bayinah juga memanfaatkan pupuk kompos yang dihasilkannya sendiri untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman selain padi, seperti singkong dan pohon kelapa. Pohon kelapa yang selama 10 tahun tidak berbuah dan tumbuh tidak subur, saat ini sudah berbuah sejak tiga bulan lalu. Tanah di sekitarnya pohon kelapa itu pun menjadi subur dan banyak ditumbuhi tanaman liar yang bermanfaat sebagai pakan ternak. Tidak hanya itu, air buah kelapa yang dihasilkan dari pohon kelapa ini juga bermanfaat menghasilkan kalium (salah satu nutrisi yang dibutuhkan tanaman).
Selain itu, Bu Bayinah juga mendapatkan nutrisi tanaman alami dari sisa-sisa makanan seperti tulang, ikan, buah, telur, cangkang telur, jahe, bawang putih, atau empon-empon (jenis-jenis bumbu dapur). Menurutnya, tulang adalah penghasil nutrisi kalsium, buah nanas menghasilkan phospor, ikan penghasil protein, jantung pisang untuk peningkatan pertumbuhan tanaman, bawang putih sebagai antiseptik, tomat sebagai perangsang pertumbuhan buah, telur keong mas juga perangsang pertumbuhan buah, buah durian sebagai perangsang pakan kambing, dan asam laktat menghasilkan Laktobacillus atau mikroorganisme pengurai unsur hara tanah agar bisa diserap tanaman.

Kompos, Manfaat Ganda dari Limbah

Dengan zat perangsang pakan alami, kambing atau domba menjadi mudah makannya. Selain itu, kotoran kambing jadi tidak berbau, penyakit berkurang dan kotorannya bisa menjadi kompos yang baik. Urin kambing pun bisa menjadi pupuk cair organik dan pestisida alami. Bahkan melalui proses fermentasi dengan menambahkan bawang putih, jahe, temulawak (empon-empon), urin ternak ini bermanfaat sebagai pupuk dan pestisida alami.
Untuk mendapatkan pupuk kompos dari kotoran kambing, Bu Bayinah menambahkan 30 persen abu sekam, 30 persen gergaji bekas/sisa media tanam jamurnya dan starter mikroorganisme lokal yang dibuatnya sendiri pula. Kemudian campuran itu dibiarkan selama 15-21 hari agar terjadi proses fermentasi kotoran kambing.
”Hasilnya, kotoran kambing yang bulat-bulat dan basah itu akan menjadi kering dan berbentuk serpihan seperti tanah layaknya,” jelas Bu Bayinah. ”Jadi tidak kalah dengan pupuk buatan pabrik loh!”.
Untuk membuat starter mikroorganisme lokal, Bu Bayinah memanfaatkan rumen ternak yang dicampur dengan buah nanas, bekatul, terasi, kapur sirih, dan gula merah yang tidak berasal dari bahan kimia. Dari 1 kilogram starter yang terbentuk, Bu Bayinah mencampurnya dengan 20 liter air dapat digunakan untuk membasahi kotoran kambing sebagai bahan kompos. Setelah dibolak-balik selama 15 hari, proses itu akan menghasilkan kompos yang berkualitas.
Selain menggunakan pupuk kompos, untuk menyuburkan lahan kembali, Bu Bayinah memanfaatkan tanaman yang sudah tua dan kering. Tanaman itu dipangkas dan dikubur dalam lahan itu sebagai berkah untuk lahan.

Buktikan dengan Keberhasilan

Dengan mengembangkan pertanian alami ini, lahan Bu Bayinah menjadi subur kembali. Dia juga mengaku lebih sedikit menggunakan benih tanaman. Sebelumnya dia bisa menghabiskan 80 kilogram benih, tapi setelah menggunakan nutrisi tanaman alami, benih yang digunakannya hanya 5 kilogram. Jenis padi yang ditanamnya adalah sintanur dan jasmin.
Meski masih berproduksi dalam skala kecil, namun perempuan yang juga membudidayakan tanaman bunga rosela dan jamur ini mengaku bisa menghasilkan berasnya lebih banyak ketimbang sebelum mengembangkan pertanian alami. Bahkan dia bisa memasarkannya ke luar kota seperti Purwokerto sebanyak 1-2 kuintal dan Semarang 5 kuintal.
Bu Bayinah juga mendapatkan penghasilan dari budidaya jamur dan rosela. ”Hasilnya lumayan untuk menghidupi diri sendiri dan karyawan,” jelasnya.
Semula petani tetangganya tidak yakin dengan apa yang dilakukan Bu Bayinah dengan pertanian alami. Namun akhirnya dengan ketekunan dan keberhasilan yang dicapai Bu Bayinah, masyarakat petani lainnya jadi banyak yang tertarik. Banyak di antara mereka yang ingin mengembangkan pertanian alami. Saat ini sudah ada dua kelompok petani yang mengembangkan pertanian alami di wilayahnya, yaitu kelompok Sidodadi dan Sidomakmur.
”Saya juga mengajak ibu-ibu di forum pengajian untuk beralih ke pertanian alami atau organik. Meski selama ini banyak dari mereka yang tidak ikut turun ke sawah,” ungkap lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Jakarta ini.
Saat ini sudah banyak perempuan di sekitar rumah Bu Bayinah yang ikut turun ke sawah. Dengan membawa daun bambu, mereka ingin memanfaatkannya untuk menyerap residu bahan-bahan kimia dari sawah. ”Dengan daun-daun bambu, konsentrasi residu berkurang dan lahan dapat segera pulih,” ujar Bu Bayinah (dipubliksikan dalam Buletin Bina Desa 2009/disarikan dari wawancara dengan Bu Bayinah/ani purwati/ink).

1 komentar:

saning mengatakan...

Mbak ika, panjaaang tulisannya.... Belum sempat baca,baru melihat-lihat. Kapan-kapan berkunjung lagi