Siswa-siswi MAN Purbalingga
Atasi Bau Kotoran Ternak dengan Nutrisi Alami
Desa Sinduraja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dihuni oleh penduduk
yang sebagian besar memelihara ayam sebagai sumber penghidupan mereka. Namun kotoran
ayam seringkali menimbulkan konflik di antara para peternak dengan masyarakat
di sekitarnya. Melihat keadaan itu, para pelajar di Madrasah Aliyah Negeri
Purbalingga berkiprah melakukan upaya yang dapat mengurangi konflik tersebut.
Kartika Jani dan kawan-kawan di
MAN Purbalingga membuat beraneka nutrisi dari pepaya, gadung, insektisida
alami, dan sebagainya. Setelah diproses, mereka menyimpan semua nutrisi itu ke
dalam botol-botol kecil dan diberi berlabel. Nutrisi pepaya biasa mereka gunakan
untuk menambah warna dan membuat rasa buah lebih manis. Nutrisi gadung bermanfaat
sebagai insektisida alami.
“Kami di MAN Purbalingga
melakukan praktik Natural Farming
atau Pertanian Alami karena terdorong melihat segala sesuatunya kini sudah mengglobal,”
ujar Ica, panggilan akrab Kartika. “Semuanya serba modern, bahan-bahan kimia
yang digunakan di pertanian, seperti insektisida dan pupuk kimia buatan pabrik
dapat menyumbang kepada global warming
atau pemanasan global sehingga mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya, serta dapat merusak alam di masa datang. Oleh karena itu, kami
menggunakan bahan-bahan organik yang dapat mengurangi global warming dan perubahan iklim”.
Peternak Berguru
kepada Siswa-siswi MAN
“Suatu hari satu kelompok ternak
dari desa Mrebet mendengar kabar kalau MAN Purbalingga telah berhasil
mengembangkan ternaknya,” ujar siswi kelas 11 IPA-1 ini. “Para peternak ini
memelihara kambing dengan cara konvensional. Mereka mengetahui informasi ini dari
salah seorang guru kami dan melihat kambing peliharaannya gemuk-gemuk. Setelah
mendengar penjelasan Ibu Fat itu, kelompok ternak itu pun tertarik menimba ilmu
di MAN Purbalingga”.
Siswa-siswi KIR 2009 MAN 1 Purbalingga, Jawa Tengah |
KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) Cendekia
MAN Purbalingga, pernah mengikuti Indonesia
Expo Science Project Olympiad tingkat nasional di Jakarta pada awal 2009. Sebelum
mengikuti lomba, para siswa berkonsultasi dengan pembina KIR Cendekia,
mendiskusikan tema yang akan diangkat dari pertanian alami. Mereka memilih tema:
mengurangi bau kotoran ternak kambing melalui pakan dari bahan alami. Bagaimana
caranya?
Para siswa-siswi memberikan pakan
kambing dengan lima macam pakan terfermentasi, yaitu fermentasi jahe,
fermentasi lele, fermentasi jantung pisang, fermentasi bawang (putih), dan
fermentasi nasi.
“Itulah ide kami,” ungkap Ica
yang ingin menimba ilmu natural farming
lebih dalam. “Kami yakin, gagasan kami baik, karena Purbalingga merupakan
wilayah yang memiliki banyak peternakan di mana seringkali terjadi konflik
antara peternak dan masyarakat di sekitarnya karena masalah bau. Oleh karena
itu, kami mengangkat ide ini untuk kemaslahatan masyarakat di Purbalingga”.
Para siswa dan pembina percaya, selain
dapat menghasilkan produk yang melimpah, cara bertani alami ini juga dapat
mengurangi pemanasan global meskipun saat ini baru terlihat kecil
sumbangsihnya, tetapi hal itu dapat berperan mengurangi global warming.
Para siswa mengumpulkan bahan-bahan
yang dibutuhkan dari lingkungan sekitar. Lalu bahan-bahan tersebut dicacah, ditumbuk
atau diparut, dan disaring bahannya, tergantung jenisnya. Kemudian timbang gula
merah, dan campur bahan-bahan tersebut dengan perbandingan 1:1. Biarkan campuran
itu berfermentasi selama 7 hari sampai mengeluarkan cairan.
“Bahan terfermentasi ini kemudian
kami berikan pada kotoran ternak,” jelas Ica. “Pertama, kami mengumpulkan
kotoran ternak, kami taruh dalam stoples. Setelah itu kotoran tersebut kami
semprot dengan nutrisi yang telah kami buat. Pengamatan kami lakukan dan setelah
itu angket kami ajukan untuk menentukan bau kotoran ternak itu. Akhirnya, kami susun
laporan penelitian tersebut”.
Para peneliti muda ini memberikan
beberapa perlakuan kepada kotoran ternak, dan melakukan pengamatan setiap hari.
Mereka membandingkan bau kotoran ternak sebelum diberi perlakuan dan setelah 13
hari kemudian. Dari grafik pengamatan itu terlihat penurunan bau kotoran,
seperti tertera pada tabel berikut ini:
Tabel Penurunan Tingkat Bau Kotoran Ternak
Perlakuan
|
Tingkat Bau
|
Sebelum Perlakuan
|
Setelah 13 Hari
|
Prosentase Penurunan (-)/ Kenaikan (+) Tingkat Bau
|
Keefektifan Formula
|
Kontrol
|
Sangat
bau
|
52%
|
24%
|
- 28%
|
20%
|
Bau
|
24%
|
32%
|
8%
|
||
Agak
Bau
|
18%
|
38%
|
20%
|
||
Tidak
Bau
|
6%
|
6%
|
0%
|
||
A
|
Sangat
Bau
|
30%
|
6%
|
- 24%
|
24%
|
Bau
|
40%
|
40%
|
0%
|
||
Agak
Bau
|
30%
|
42%
|
12%
|
||
Tidak
Bau
|
0%
|
12%
|
12%
|
||
B
|
Sangat
Bau
|
46%
|
16%
|
- 30%
|
32%
|
Bau
|
36%
|
34%
|
- 2%
|
||
Agak
Bau
|
18%
|
50%
|
32%
|
||
Tidak
Bau
|
0%
|
0%
|
0%
|
||
C
|
Sangat
Bau
|
60%
|
40%
|
- 26%
|
12%
|
Bau
|
20%
|
58%
|
38%
|
||
Agak
Bau
|
14%
|
2%
|
- 12%
|
||
Tidak
Bau
|
0%
|
0%
|
0%
|
Sebelum melakukan penelitian, para
siswa-siswi melakukan studi pendahuluan. Mereka mengumpulkan kotoran ayam di
dalam kantung plastik. Kotoran ayam itu mereka peroleh dari peternakan-peternakan
di sekitar sekolah. Lalu mereka menyemprotnya dengan lima macam nutrisi.
“Kalau memang terbukti dapat
menghilangkan bau, kami akan menerapkan cara ini dalam bakti sosial kami kepada
masyarakat,” lanjut Ica. Para anggota KIR bidang natural farming membuat sendiri nutrisi yang digunakan untuk
penyemprotan kotoran ayam. Kemudian mereka melakukan bakti sosial untuk
menghilangkan bau kotoran ayam di desa Sindureja. Dan studi itu berhasil
mengurangi bau. “Waktu itu kelompok dibagi dua, masing-masing 15 orang.
Kelompok 1 menyemprot nutrisi di kandang ayam petelur, kelompok lainnya
melakukan penyemprotan di kandang ayam pedaging”.
Masa Depan Anak
Petani dan Natural Farming
Ica dan beberapa kawan peneliti
mudanya di KIR Cendekia berharap setelah meneliti cara mengurangi bau kotoran ternak
dengan lima nutrisi, agar ada penelitian lanjut sehingga nutrisi yang telah mereka
temukan dapat bermanfaat bagi masyarakat.
“Cara ini sangat bermanfaat bagi
warga sekitar,” sambung Ica. “Setelah mengadakan bakti sosial, masyarakat
senang. Bahkan peternak dari Sinduraja datang lagi ke sekolah kami untuk meminta
formula yang kami buat”.
Namun para siswa ini tidak bisa
melayani keinginan masyarakat secara komersial. Meski para peternak ingin
membeli formula dari MAN Purbalingga, mereka tidak mau menjualnya.
“Sebagai peniliti muda, keinginan
kami adalah masyarakat sendiri yang belajar agar mereka bisa membuat formula-formula
itu dan menjadi mandiri,” kata Ica.
Sementara itu, kiprah para
pelajar ini juga mendapat dukungan penuh dari para guru dan kepala sekolah
mereka. “Kami senang melihat perkembangan natural
farming di sekolah, mengingat sebagian besar siswa berasal dari keluarga petani,”
ujar Pak Kholid, guru kimia yang juga pembina KIR Cendekia MAN Purbalingga. “Kami
berharap, setelah anak-anak lulus, mereka dapat mandiri berwirausaha dan mengembangkan
apa yang telah diperoleh di sekolah ini sehingga dapat berdampak kepada lingkungannya
dan dapat membantu masyarakat sekitar. Petani yang tadinya tergantung pada
obat-obatan dan pupuk kimia pabrikan, diharapkan akan beralih ke organik, dan
kemakmuran petani di Purbalingga khususnya dan di Indonesia pada umumnya bisa
meningkat”.
Siswa-siswi sekolah lanjutan atas
ini secara tidak langsung telah memotivasi masyarakat di sekitar sekolah untuk
beralih dari sistem pertanian berbahan kimia ke pertanian alami, dari sistem
pertanian yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia dan makhluk
hidup lainnya ke pertanian yang aman bagi manusia dan lingkungan. Di samping
itu, kemitraan antara lembaga pendidikan (madrasah/sekolah), masyarakat,
pemerintah daerah dan masyarakat sipil lokal diharapkan akan terwujud (Dipublikasikan dalam Buletin Bina Desa/disarikan dari rekaman video dan wawancara
dengan kepala sekolah, guru-guru, dan anggota KIR Cendekia MAN Purbalingga/ink).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar