Kamis, 01 Agustus 2013

Bikin Kompos dan Kemandirian Petani



Bikin Kompos Sendiri, Lepaskan Diri dari Ketergantungan

Kicauan suara burung bersautan dengan suara 'rengekan' kambing di belakang rumah, seakan mengalunkan sebuah lagu dengan iringan hembusan angin lembut. Udara begitu sejuk siang itu di Kecamatan Purwonegoro, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Suasana sekitar rumah yang dipenuhi hijaunya dedaunan tanaman di halaman muka rumah menambah kesejukan mata yang memandang.
Bu Bayinah sedang memotong rumput bahan dasar kompos
Seorang perempuan berkerudung keluar dari rumah dan menyambut kehadiran kami dengan wajah berseri. Setelah beramah-tamah sejenak, perempuan yang berprofesi sebagai petani ini menceritakan pengalamannya dalam mengembangkan pertanian alami (natural farming).
            “Saya ini petani PMDN alias Petani Modal Dengkul dan Nekad,” ungkap Bu Mubayyinah Jauhari, perempuan petani dari Dusun Pesantren, Merden Wetan, Banjarnegara, Jawa Tengah. “Semula saya berangkat dari keinginan memperbaiki lahan yang telah rusak, bukan untuk menghasilkan panen yang tinggi. Saya yakin, kalau lahan yang hancur bisa saya perbaiki, akan menghasilkan panen yang sehat, dan akhirnya akan mendatangkan keuntungan baik bagi petani maupun konsumen”.
Bu Bayinah mulai mengembangkan tanaman padi organik seluas setengah hektar. Untuk mengembangkannya secara alami, dia membutuhkan pupuk kompos yang murni. Dia pun ingin memaksimalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya guna mendapatkan kompos itu. Karena dengan membuat pupuk kompos  sendiri, Bu Bayinah berharap bersama keluarga dan petani lainnya mereka tidak akan tergantung lagi pada produsen besar. Kini, dari 1 kg benih padi, ia dapat menghasilkan panen 2 ton (berat basah), dengan rata-rata harga jual berasnya Rp.8.000/kg.
“Petani bisa bersikap profesional dan mencintai pekerjaannya, melakukannya sesuai keinginan alam serta bisa memperbaiki lahannya yang telah rusak selama ini,” jelas Bu Bayinah.
Sesekali Bu Bayinah mendekati dan menyentuh daun tanaman di pekarangan rumahnya. Dengan selalu menyunggingkan senyum, ia menceritakan pengalamannya. Menurutnya, bahan-bahan alami yang ada di sekitar rumahnya sangat bermanfaat, dapat menghasilkan nutrisi untuk pertumbuhan alami tanaman dan hewan ternaknya.
Dia mencontohkan, air yang ada di dalam pohon pisang bisa menjadi bahan untuk mendatangkan mikroorganisme lokal melalui proses fermentasi dengan cara menambahkan gula. Kemudian Bu Bayinah memadupadankan mikroorganisme ini dengan kotoran ternak untuk menghasilkan kompos yang bisa memperbaiki lahan yang rusak akibat pemakaian pupuk kimia secara intensif.
Rumput tataria yang tumbuh di sekitar rumahnya pun bisa bermanfaat sebagai makanan pokok kambing. Tanaman rumpun sejenis padi-padian seberat 1 kilogram ini, jika menjadi pakan kambing maka sekitar 50 persennya dapat menghasilkan kotoran kambing yang menjadi pupuk kompos.  Tanaman orok-orok (Clotalaria) juga banyak menghasilkan nitrogen alami sebagai pengganti urea, selain bermanfaat pula sebagai pakan kambing.
Di sekitar rumahnya, Bu Bayinah juga memanfaatkan pupuk kompos yang dihasilkannya sendiri untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman selain padi, seperti singkong dan pohon kelapa. Pohon kelapa yang selama 10 tahun tidak berbuah dan tumbuh tidak subur, saat ini sudah berbuah sejak tiga bulan lalu. Tanah di sekitarnya pohon kelapa itu pun menjadi subur dan banyak ditumbuhi tanaman liar yang bermanfaat sebagai pakan ternak. Tidak hanya itu, air buah kelapa yang dihasilkan dari pohon kelapa ini juga bermanfaat menghasilkan kalium (salah satu nutrisi yang dibutuhkan tanaman).
Selain itu, Bu Bayinah juga mendapatkan nutrisi tanaman alami dari sisa-sisa makanan seperti tulang, ikan, buah, telur, cangkang telur, jahe, bawang putih, atau empon-empon (jenis-jenis bumbu dapur). Menurutnya, tulang adalah penghasil nutrisi kalsium, buah nanas menghasilkan phospor, ikan penghasil protein, jantung pisang untuk peningkatan pertumbuhan tanaman, bawang putih sebagai antiseptik, tomat sebagai perangsang pertumbuhan buah, telur keong mas juga perangsang pertumbuhan buah, buah durian sebagai perangsang pakan kambing, dan asam laktat menghasilkan Laktobacillus atau mikroorganisme pengurai unsur hara tanah agar bisa diserap tanaman.

Kompos, Manfaat Ganda dari Limbah

Dengan zat perangsang pakan alami, kambing atau domba menjadi mudah makannya. Selain itu, kotoran kambing jadi tidak berbau, penyakit berkurang dan kotorannya bisa menjadi kompos yang baik. Urin kambing pun bisa menjadi pupuk cair organik dan pestisida alami. Bahkan melalui proses fermentasi dengan menambahkan bawang putih, jahe, temulawak (empon-empon), urin ternak ini bermanfaat sebagai pupuk dan pestisida alami.
Untuk mendapatkan pupuk kompos dari kotoran kambing, Bu Bayinah menambahkan 30 persen abu sekam, 30 persen gergaji bekas/sisa media tanam jamurnya dan starter mikroorganisme lokal yang dibuatnya sendiri pula. Kemudian campuran itu dibiarkan selama 15-21 hari agar terjadi proses fermentasi kotoran kambing.
”Hasilnya, kotoran kambing yang bulat-bulat dan basah itu akan menjadi kering dan berbentuk serpihan seperti tanah layaknya,” jelas Bu Bayinah. ”Jadi tidak kalah dengan pupuk buatan pabrik loh!”.
Untuk membuat starter mikroorganisme lokal, Bu Bayinah memanfaatkan rumen ternak yang dicampur dengan buah nanas, bekatul, terasi, kapur sirih, dan gula merah yang tidak berasal dari bahan kimia. Dari 1 kilogram starter yang terbentuk, Bu Bayinah mencampurnya dengan 20 liter air dapat digunakan untuk membasahi kotoran kambing sebagai bahan kompos. Setelah dibolak-balik selama 15 hari, proses itu akan menghasilkan kompos yang berkualitas.
Selain menggunakan pupuk kompos, untuk menyuburkan lahan kembali, Bu Bayinah memanfaatkan tanaman yang sudah tua dan kering. Tanaman itu dipangkas dan dikubur dalam lahan itu sebagai berkah untuk lahan.

Buktikan dengan Keberhasilan

Dengan mengembangkan pertanian alami ini, lahan Bu Bayinah menjadi subur kembali. Dia juga mengaku lebih sedikit menggunakan benih tanaman. Sebelumnya dia bisa menghabiskan 80 kilogram benih, tapi setelah menggunakan nutrisi tanaman alami, benih yang digunakannya hanya 5 kilogram. Jenis padi yang ditanamnya adalah sintanur dan jasmin.
Meski masih berproduksi dalam skala kecil, namun perempuan yang juga membudidayakan tanaman bunga rosela dan jamur ini mengaku bisa menghasilkan berasnya lebih banyak ketimbang sebelum mengembangkan pertanian alami. Bahkan dia bisa memasarkannya ke luar kota seperti Purwokerto sebanyak 1-2 kuintal dan Semarang 5 kuintal.
Bu Bayinah juga mendapatkan penghasilan dari budidaya jamur dan rosela. ”Hasilnya lumayan untuk menghidupi diri sendiri dan karyawan,” jelasnya.
Semula petani tetangganya tidak yakin dengan apa yang dilakukan Bu Bayinah dengan pertanian alami. Namun akhirnya dengan ketekunan dan keberhasilan yang dicapai Bu Bayinah, masyarakat petani lainnya jadi banyak yang tertarik. Banyak di antara mereka yang ingin mengembangkan pertanian alami. Saat ini sudah ada dua kelompok petani yang mengembangkan pertanian alami di wilayahnya, yaitu kelompok Sidodadi dan Sidomakmur.
”Saya juga mengajak ibu-ibu di forum pengajian untuk beralih ke pertanian alami atau organik. Meski selama ini banyak dari mereka yang tidak ikut turun ke sawah,” ungkap lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Jakarta ini.
Saat ini sudah banyak perempuan di sekitar rumah Bu Bayinah yang ikut turun ke sawah. Dengan membawa daun bambu, mereka ingin memanfaatkannya untuk menyerap residu bahan-bahan kimia dari sawah. ”Dengan daun-daun bambu, konsentrasi residu berkurang dan lahan dapat segera pulih,” ujar Bu Bayinah (dipubliksikan dalam Buletin Bina Desa 2009/disarikan dari wawancara dengan Bu Bayinah/ani purwati/ink).

Go Organic!



Gerakan Menuju Pertanian Organik yang Berkeadilan!

Ada banyak alasan mengapa orang beralih memproduksi dan mengkonsumsi produk organik, seperti kesehatan, keamanan pangan, bahkan demi kelestarian lingkungan. Dari sudut pandang petani, kesulitan mendapatkan input kimia menjadi salah satu faktor yang mendorong petani untuk menyediakan sendiri kebutuhan input mereka. Namun di luar itu, dunia memang tengah bergeser menuju pertanian organik yang ternyata mampu menghasilkan lebih banyak pangan yang aman untuk mengatasi kelaparan dunia.

Hal tersebut diungkapkan oleh Brian Halweil, peneliti senior pada Worldwatch Institute. “Pertanian organik meningkatkan hasil panen di negara-negara miskin, terutama yang penduduknya menderita kelaparan dan tak mampu menjalankan pertanian sarat bahan kimia,” jelas Halweil. “Di negara-negara miskin, berbagai teknik pertanian organik, seperti pembuatan kompos dan pupuk hijau, serta pengendalian hama secara alami menjadi tumpuan harapan para petani dalam meningkatkan produksi dan mengentaskan kelaparan”.
            Selain itu, pertanian organik terbukti aman bagi hidupan liar, kualitas air dan udara, serta keamanan pangan. Sayangnya, kita tidak bisa sekejap mata beralih dari pertanian sarat bahan kimia (pupuk dan pestisida berbasis minyak bumi) menjadi pertanian organik. Petani pun harus bisa meloloskan diri dari jebakan yang selama ini memanjakan mereka yang serba instan, lalu beralih ke proses organis yang lebih membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan segala kerusakan yang ditinggalkan oleh praktik-praktik dan bahan kimia itu. Beralih ke pertanian organik, berarti kita beralih ke sistem pangan yang lebih berkeadilan.

Apakah Anda Sudah Bertani Organik?

Filosofi pertanian organik sebenarnya mendekatkan sistem pangan menjadi lebih berkeadilan, menghasilkan pangan yang lebih sehat dan sesedikit mungkin melalui pemrosesan, serta lebih mengutamakan jalinan interaksi antara petani dan konsumennya. Tetapi meski produk organik dapat bersaing dengan produk yang diberi input kimia dan lebih tahan terhadap kekeringan, belum banyak pasar produk organik tercipta.  
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melalui CODEX, pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik yang mendukung dan meningkatkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sedang International Federation of Organik Agriculture Movement (IFOAM) menjelaskan bahwa pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan, dan keadilan sosial. Dengan demikian, pertanian organik lebih dari sekedar sistem produksi yang memasukkan atau mengeluarkan input tertentu, namun juga merupakan satu filosofi dengan tujuan mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan dari kehidupan tanah, tanaman, hewan dan manusia (http://gerakankonsumen.blogspot.com/2008/09/pertanian-organik-dan-revitalisasi.html).
Menurut Pater Agato --salah seorang perintis dan praktisi pertanian organis di Indonesia, pertanian organis bukanlah lawan dari pertanian konvensional, atau pun pertanian kimia. Namun yang dilawan oleh pertanian organis adalah egoisme si pelaku itu sendiri. Pertanian organis itu seperti satu tubuh, kalau salah satu bagian sakit maka seluruh tubuh lainnya akan merasakan ketidaknyamanan.
            Lalu bagaimana caranya beralih dari teknik-teknik bertani yang telah kita lakukan selama ini bersifat merusak menjadi organik? Bagaimana mengatasi kendala yang kita temui, yang bukan sekedar rasa takut akan gagal atau bahkan tidak yakin dirinya untuk bisa berubah menjadi organis?
            Pengalaman petani yang ingin berubah menjadi organik, menunjukkan mereka paham akan keuntungan yang bakal diperoleh, tetapi banyak hambatan yang mereka temui. “Perubahan memang memerlukan waktu dan uang,” ujar Brian Halweil. “Perubahan juga membawa risiko”.
            Menurut Brian, jalan terbaik untuk menjalankan praktik pertanian organik adalah meraih dukungan dari pemerintah, kalangan industri, dan organisasi-organisasi tani. Di Indonesia, potret inisiatif pertanian organik dari Pemerintah sungguh buram. Pemerintah tampak kebingungan untuk sepenuh hati menerapkan “Program Go Organik 2010” yang dicanangkannya sendiri dengan Otoritas Kompeten Pertanian Organik melalui SK Menteri Pertanian Nomor: 432/Kpts/OT.130/9/2003 dan Pembentukan Task Force Organik.  

Mengapa Menunggu 2010? Go Organik Sekarang Juga!

            Sementara pemerintah ragu-ragu dengan programnya sendiri, para petani sudah banyak yang tertarik pada teknik-teknik pertanian organik. Biasanya, begitu seorang petani dapat menerapkan teknik itu dan melihat hasilnya, ia dan petani lainnya akan mencari lagi dan mengembangkan teknik-teknik organik lainnya. Para petani yang didampingi Bina Desa, seperti di Banjarnegara, Menawan (Kudus), Sodong (Pemalang, Jawa Tengah), Canduang Baso (Sumatera Barat), dan petani-petani dari daerah lainnya telah mengembangkan berbagai teknik bertani alami, awalnya mereka melihat satu teknik yang berhasil meningkatkan produksi. Kemudian, mereka segera terinspirasi untuk mengembangkan teknik atau input organik tersebut. Kini mereka memiliki beragam teknik dan formula organik yang mereka kembangkan sendiri dan dibagi di antara petani.
            Meski pertanian organik masih kecil peluangnya untuk berkembang dan baru sedikit menyumbang kepada sistem pangan kita, pertanian organik terus tumbuh dan berkembang. Di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Serikat, pertanian organik merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya. Laju pertumbuhan penjualan pangan organik di AS berkisar dari 20-25% per tahun selama dasawarsa terakhir ini. Di negara-negara itu, banyak pertanian organik yang dapat bersaing dengan pertanin non organik. Sementara di negara-negara seperti Jerman, Swiss, dan Kuba pemerintah memainkan peran penting dalam pengembangan pertanian organik. Negara berkembang yang telah beralih ke produksi organik juga menjadi diuntungkan karena produk tersebut dikonsumsi lokal atau dipasarkan ke wilayah terdekat. (http://gerakankonsumen.blogspot.com/ 2008/09/pertanian-organik-dan-revitalisasi.html).
Sebagai konsumen, kita dapat membeli produk organik di mana pun dan kapan pun memungkinkan, mengajak teman dan keluarga untuk melakukan hal yang sama, mendorong petani dan koperasi yang ada di sekitar kita untuk menjadi organik. Mintalah informasi kepada organisasi-organisasi swadaya yang mendukung pertanian organik untuk memperluas promosi pertanian organik ini. Di suatu kawasan di East Hampton AS, dewan kota membeli lahan seluas 40 are, lalu diserahkan kepada sebuah kelompok asalkan mereka melakukan pengelolaannya secara organis.  
            Keuntungan membeli produk lokal organik dari lahan petani yang hanya berjarak 30 menit adalah kesempatan untuk mengetahui dengan pasti bagaimana produk tersebut dihasilkan. Anda juga dapat berdiskusi dengan petani seperti memberi masukan atau usul atas produk yang dihasilkan. Petani tentu akan senang mendapat masukan untuk meningkatkan produk dan pasarnya (dipublikasikan dalam Buletin Bina Desa, 2009/dari berbagai sumber/ink).

Kotoran Ternak Bau? Pakailah Nutrisi Alami



Siswa-siswi MAN Purbalingga
Atasi Bau Kotoran Ternak dengan Nutrisi Alami

Desa Sinduraja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dihuni oleh penduduk yang sebagian besar memelihara ayam sebagai sumber penghidupan mereka. Namun kotoran ayam seringkali menimbulkan konflik di antara para peternak dengan masyarakat di sekitarnya. Melihat keadaan itu, para pelajar di Madrasah Aliyah Negeri Purbalingga berkiprah melakukan upaya yang dapat mengurangi konflik tersebut.

Kartika Jani dan kawan-kawan di MAN Purbalingga membuat beraneka nutrisi dari pepaya, gadung, insektisida alami, dan sebagainya. Setelah diproses, mereka menyimpan semua nutrisi itu ke dalam botol-botol kecil dan diberi berlabel. Nutrisi pepaya biasa mereka gunakan untuk menambah warna dan membuat rasa buah lebih manis. Nutrisi gadung bermanfaat sebagai insektisida alami.
“Kami di MAN Purbalingga melakukan praktik Natural Farming atau Pertanian Alami karena terdorong melihat segala sesuatunya kini sudah mengglobal,” ujar Ica, panggilan akrab Kartika. “Semuanya serba modern, bahan-bahan kimia yang digunakan di pertanian, seperti insektisida dan pupuk kimia buatan pabrik dapat menyumbang kepada global warming atau pemanasan global sehingga mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta dapat merusak alam di masa datang. Oleh karena itu, kami menggunakan bahan-bahan organik yang dapat mengurangi global warming dan perubahan iklim”.

Peternak Berguru kepada Siswa-siswi MAN

“Suatu hari satu kelompok ternak dari desa Mrebet mendengar kabar kalau MAN Purbalingga telah berhasil mengembangkan ternaknya,” ujar siswi kelas 11 IPA-1 ini. “Para peternak ini memelihara kambing dengan cara konvensional. Mereka mengetahui informasi ini dari salah seorang guru kami dan melihat kambing peliharaannya gemuk-gemuk. Setelah mendengar penjelasan Ibu Fat itu, kelompok ternak itu pun tertarik menimba ilmu di MAN Purbalingga”.
Siswa-siswi KIR 2009 MAN 1 Purbalingga, Jawa Tengah
Menurut Ica, mantan Ketua KIR Cendekia MAN Purbalingga, meski sudah cukup lanjut usia, para anggota kelompok tidak malu menimba ilmu dari para pelajar. Mereka tidak merasa malu atau sungkan, malah nyaman saja menimba ilmu dari anak-anak yang telah lebih dulu berhasil mencoba cara alami ini. Tidak merasa seperti kerbau menyusu gudhel (anak kerbau).  
KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) Cendekia MAN Purbalingga, pernah mengikuti Indonesia Expo Science Project Olympiad tingkat nasional di Jakarta pada awal 2009. Sebelum mengikuti lomba, para siswa berkonsultasi dengan pembina KIR Cendekia, mendiskusikan tema yang akan diangkat dari pertanian alami. Mereka memilih tema: mengurangi bau kotoran ternak kambing melalui pakan dari bahan alami. Bagaimana caranya?
Para siswa-siswi memberikan pakan kambing dengan lima macam pakan terfermentasi, yaitu fermentasi jahe, fermentasi lele, fermentasi jantung pisang, fermentasi bawang (putih), dan fermentasi nasi.
“Itulah ide kami,” ungkap Ica yang ingin menimba ilmu natural farming lebih dalam. “Kami yakin, gagasan kami baik, karena Purbalingga merupakan wilayah yang memiliki banyak peternakan di mana seringkali terjadi konflik antara peternak dan masyarakat di sekitarnya karena masalah bau. Oleh karena itu, kami mengangkat ide ini untuk kemaslahatan masyarakat di Purbalingga”.
Para siswa dan pembina percaya, selain dapat menghasilkan produk yang melimpah, cara bertani alami ini juga dapat mengurangi pemanasan global meskipun saat ini baru terlihat kecil sumbangsihnya, tetapi hal itu dapat berperan mengurangi global warming.
Para siswa mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan dari lingkungan sekitar. Lalu bahan-bahan tersebut dicacah, ditumbuk atau diparut, dan disaring bahannya, tergantung jenisnya. Kemudian timbang gula merah, dan campur bahan-bahan tersebut dengan perbandingan 1:1. Biarkan campuran itu berfermentasi selama 7 hari sampai mengeluarkan cairan.
“Bahan terfermentasi ini kemudian kami berikan pada kotoran ternak,” jelas Ica. “Pertama, kami mengumpulkan kotoran ternak, kami taruh dalam stoples. Setelah itu kotoran tersebut kami semprot dengan nutrisi yang telah kami buat. Pengamatan kami lakukan dan setelah itu angket kami ajukan untuk menentukan bau kotoran ternak itu. Akhirnya, kami susun laporan penelitian tersebut”.
Para peneliti muda ini memberikan beberapa perlakuan kepada kotoran ternak, dan melakukan pengamatan setiap hari. Mereka membandingkan bau kotoran ternak sebelum diberi perlakuan dan setelah 13 hari kemudian. Dari grafik pengamatan itu terlihat penurunan bau kotoran, seperti tertera pada tabel berikut ini:

Tabel Penurunan Tingkat Bau Kotoran Ternak

Perlakuan
Tingkat Bau
Sebelum Perlakuan
Setelah 13 Hari
Prosentase Penurunan (-)/ Kenaikan (+) Tingkat Bau
Keefektifan Formula
Kontrol
Sangat bau
52%
24%
- 28%

20%
Bau
24%
32%
8%
Agak Bau
18%
38%
20%
Tidak Bau
6%
6%
0%
A
Sangat Bau
30%
6%
- 24%

24%
Bau
40%
40%
0%
Agak Bau
30%
42%
12%
Tidak Bau
0%
12%
12%
B
Sangat Bau
46%
16%
- 30%

32%
Bau
36%
34%
- 2%
Agak Bau
18%
50%
32%
Tidak Bau
0%
0%
0%
C
Sangat Bau
60%
40%
- 26%

12%
Bau
20%
58%
38%
Agak Bau
14%
2%
- 12%
Tidak Bau
0%
0%
0%

Sebelum melakukan penelitian, para siswa-siswi melakukan studi pendahuluan. Mereka mengumpulkan kotoran ayam di dalam kantung plastik. Kotoran ayam itu mereka peroleh dari peternakan-peternakan di sekitar sekolah. Lalu mereka menyemprotnya dengan lima macam nutrisi.
“Kalau memang terbukti dapat menghilangkan bau, kami akan menerapkan cara ini dalam bakti sosial kami kepada masyarakat,” lanjut Ica. Para anggota KIR bidang natural farming membuat sendiri nutrisi yang digunakan untuk penyemprotan kotoran ayam. Kemudian mereka melakukan bakti sosial untuk menghilangkan bau kotoran ayam di desa Sindureja. Dan studi itu berhasil mengurangi bau. “Waktu itu kelompok dibagi dua, masing-masing 15 orang. Kelompok 1 menyemprot nutrisi di kandang ayam petelur, kelompok lainnya melakukan penyemprotan di kandang ayam pedaging”.

Masa Depan Anak Petani dan Natural Farming

Ica dan beberapa kawan peneliti mudanya di KIR Cendekia berharap setelah meneliti cara mengurangi bau kotoran ternak dengan lima nutrisi, agar ada penelitian lanjut sehingga nutrisi yang telah mereka temukan dapat bermanfaat bagi masyarakat.
“Cara ini sangat bermanfaat bagi warga sekitar,” sambung Ica. “Setelah mengadakan bakti sosial, masyarakat senang. Bahkan peternak dari Sinduraja datang lagi ke sekolah kami untuk meminta formula yang kami buat”.
Namun para siswa ini tidak bisa melayani keinginan masyarakat secara komersial. Meski para peternak ingin membeli formula dari MAN Purbalingga, mereka tidak mau menjualnya.
“Sebagai peniliti muda, keinginan kami adalah masyarakat sendiri yang belajar agar mereka bisa membuat formula-formula itu dan menjadi mandiri,” kata Ica.
Sementara itu, kiprah para pelajar ini juga mendapat dukungan penuh dari para guru dan kepala sekolah mereka. “Kami senang melihat perkembangan natural farming di sekolah, mengingat sebagian besar siswa berasal dari keluarga petani,” ujar Pak Kholid, guru kimia yang juga pembina KIR Cendekia MAN Purbalingga. “Kami berharap, setelah anak-anak lulus, mereka dapat mandiri berwirausaha dan mengembangkan apa yang telah diperoleh di sekolah ini sehingga dapat berdampak kepada lingkungannya dan dapat membantu masyarakat sekitar. Petani yang tadinya tergantung pada obat-obatan dan pupuk kimia pabrikan, diharapkan akan beralih ke organik, dan kemakmuran petani di Purbalingga khususnya dan di Indonesia pada umumnya bisa meningkat”.
Siswa-siswi sekolah lanjutan atas ini secara tidak langsung telah memotivasi masyarakat di sekitar sekolah untuk beralih dari sistem pertanian berbahan kimia ke pertanian alami, dari sistem pertanian yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya ke pertanian yang aman bagi manusia dan lingkungan. Di samping itu, kemitraan antara lembaga pendidikan (madrasah/sekolah), masyarakat, pemerintah daerah dan masyarakat sipil lokal diharapkan akan terwujud (Dipublikasikan dalam Buletin Bina Desa/disarikan dari rekaman video dan wawancara dengan kepala sekolah, guru-guru, dan anggota KIR Cendekia MAN Purbalingga/ink).