Menyusuri Rawa
Danau
Tulisan ini kami buat jauh bertahun-tahun yang lalu, 1990, ketika saya dan sahabat saya Christina Purnami Wulan masih kuliah di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia. Berikut ini kisah kami ketika melakukan kuliah kerja lapangan di cagar alam Rawa Danau (Ranca Danau), Pandeglang, sekarang Provinsi Banten.
Ini satu-satunya ekosistem rawa pegunungan di Pulau
Jawa yang selamat dari kepunahan. Inilah pengalaman saya dan sahabat saya,
Christina P. Wulan semasa kuliah di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia
ke cagar alam dekat Ujung Kulon ini.
Namanya memang tidak setenar tetangganya, Ujung Kulon.
Namanya, Rawa Danau, cagar alam yang terletak + 45 km kea rah barat daya
kota Serang, Jawa Barat, memegang peranan yang tidak kecil dalam penyediaan air
bagi kota Cilegon, PLTA Suralaya, industry baja Krakatau Steel, dan pengairan
lahan pertanian di sekitarnya. Ke Rawa Danau itulah kami, para mahasiswa yang
mengambil mata kuliah Kerja Lapangan.
Jukung,
Transportasi Utamanya
Untuk mencapai Rawa Danau, kami harus sampai dulu di
Desa Padarincang, desa terakhir yang masih bias dimasuki kendaraan beroda
empat. Jalan menuju kawasan cagar alam hanya dapat ditempuh dengan berjalan
kaki. Lama perjalanan sekitar tiga jam dari Desa Padarincang. Ada ojek, tapi
hanya sampai di batas desa. Namun jarang ada tukang ojek yang mau bersusah
payah menempuh perjalanan di pematang sawah yang sempit.
Tiga perempat jam pertama, kami masih menelusuri jalan
desa yang di kiri-kanannya ada warung, rumah penduduk dan sebuah sekolah dasar.
Setelah itu, mulailah perjalanan menyeberangi sungai yang katanya ada buayanya,
melintasi sawah dan rumah penduduk yang sudah ditinggalkan penghuninya karena
mereka bertransmigrasi ke Sumatra.
Sisa Perjalanan yang 15 menit kami tempuh dengan naik
jukung. Jukung adalah sebuah perahu terbuat dari batang pohon yang cukup besar
dan dipahat membentuk cekungan besar. Jukung dibuat tanpa menggunakan paku dan
menurut kepercayaan setempat, perahu jenis ini tidak boleh dicat.
Kami menelusuri rawa yang dipenuhi eceng gondok dan
tumbuhan gulma air yang mengancam rawa cepat menjadi daratan. Naik jukung di
perairan yang tidak begitu dalam (rata-rata 1,5 m) seperti di Rawa Danau,
ternyata memerlukan kecermatan pengemudinya. Jika tidak, jukung yang sarat
penumpang dan peralatan observasi itu bias kandas di tanah rawa yang berlumpur.
Dahulu, Rawa Danau merupakan suatu lembah yang luasnya
2.500 hektar dengan ketinggian + 92 m dari permukaan laut. Kawasan itu
ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Gubernur Jenderal Belanda tanggal
6 November 1921. Tujuannya adalah untuk melindungi ekosistem rawa pegunungan
yang merupakan satu-satunya di Pulau Jawa. Namun, wilayah itu makin sempit
akibat usaha pengeringan rawa untuk dijadikan daerah permukiman atau lahan
pertanian, serangan tumbuhan eceng gondok dan gulma air lainnya. Kualitas dan
kuantitas air rawa pun menurun sehingga mempengaruhi penyediaan air bagi
industry baja Krakatau Steel, PLTA Suralaya, serta pengairan bagi lahan di
sekitarnya.
Sebenarnya, air yang masuk ke Rawa Danau berasal dari
gunung-gunung yang mengelilinginya. Di antaranya Gunung Jamungkal yang berada
di sebelah barat. Di kaki gunung itu terdapat beberapa sumber air panas yang
digunakan masyarakat setempat sebagai tempat pemandian. Sumber air panas
tersebut menjadi petunjuk adanya sisa aktivitas vulkanik di gunung tersebut.
Selama melakukan kerja lapangan di cagar alam Rawa
Danau, kami tinggal di pos petugas PHPA (Perlindungan Hutan Pelestarian Alam)
yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Baru, permukiman penduduk yang berada
di pinggir kawasan cagar alam. Kampung tersebut tidak terlalu banyak rumahnya.
Menurut salah seorang petugas PHPA, ada sekitar 75 rumah tangga. Rumah-rumah di
kampong itu sebagian besar beratapkan genteng. Tapi semakin naik ke gunung,
hamper seluruh rumah beratap daun kelapa. Penduduknya adalah petani. Mereka ada
yang berkebun kopi, cengkeh, dan pisang yang ditanam sampai ke gunung. Ada juga
yang bermata pencaharian menangkap ikan. Di kampong tersebut belum ada listrik
dan sarana pendidikan. Sebuah bangunan sekolah tinggal berupa sisa tembok
dengan papan bertuliskan “Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padarincang”.
Menyimpan Jenis
Burung Langka
Kegiatan kami selama di Rawa Danau adalah meneliti
kualitas air dengan mengukur kadar oksigen yang terlarut, kadar nitrat, total
fosfat, natrium, pH air, serta meneliti keanekaragaman algae yang hidup di
perairan rawa. Kehadiran serangga tertentu, misalnya capung, di sekitar
perairan bisa member petunjuk sudah atau belum tercemarnya perairan tersebut.
Selain itu, kami juga meneliti tumbuhan yang ada. Yang belum diketahui, kami
buat herbarium. Soalnya, di cagar ala mini tersimpan jenis flora yang jarang
dijumpai di rawa-rawa lain di Pulau Jawa, seperti Coix lacryma-jobi palustris.
Observasi burung merupakan kegiatan lain yang mengasyikkan.
Entah pagi atau sore hari, kami sudah harus berada di lokasi pengamatan.Alat
yang kami gunakan untuk pengamatan burung adalah binokuler, kamera potret, buku
catatan, dan buku penuntun lapangan (field guide) berisi deskripsi
burung-burung yang ada di Jawa. Tidak jarang kami harus mendekam di suatu
tempat atau mengendap-endap selama bermenit-menit untuk mengamati seekor
burung. Yang paling seru ketika kami menguntit burung yang bersembunyi dalam
vegetasi rawa. Sambil sibuk menebas lebatnya semak, kami juga harus melepaskan
lintah-lintah yang gemar menembus pakaian!
Kadangkala burung-burung itu hanya suaranya saja yang
dapat kami dengarkan. Namun harus kami catat. Buat para pemula, hal ini
menyulitkan. Beruntung, dengan bantuan para penduduk, kami dapat
mengidentifikasi burung tersebut. Misalnya burung cipeuw yang bunyinya
“cii---poo…cii…poo!”.Atau kalau kami mendengar suara menyerupai bayi menangis,
itulah suara elang bondol (Haliastur Indus) yang beberapa tahun kemudian
ditetapkan menjadi satwa maskot Provinsi DKI Jakarta.
Masih banyak yang kami lihat selama mengikuti kegiatan
di cagar alam Rawa Danau. Dari data observasi kami, cagar alam ini diketahui
menyimpan jenis burung langka yang dilindungi, seperti burung tulung tumpuk
(Megalaima javensis), burung raja udang besar (Halcyon chloris), burung
rangkong, atau beo.
Namun pengalaman menarik tidak selalui menyertai kami.
Jukung kami sempat bocor. Tak ada pilihan lain, kami harus bekerja keras
menguras air yang masuk dan menambalnya dengan lumpur. Padahal kami harus
menjelajahi perairan untuk mengumpulkan vegetasi air.
Kini berpuluh tahun kemudian, kami tak pernah
mendengar nama Rawa Danau ini. Kabarnya kawasan ini telah semakin susut. Entah,
apakah masih ada ekosistem rawa pegunungan yang tersisa satu-satunya ini di
Pulau Jawa. Kabar terakhir, ketika tulisan ini diketik ulang, PT Krakatau Steel
telah diprivatisasi (tulisan ini dimuat
dalam majalah Intisari Oktober 1990/Ika Nurillah Krishnayanti & Christina
P. Wulan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar