Senin, 07 Juli 2008

Nature Reserve

Rawa Danau, Nature’s Unsung Reserve

Maybe it is just the fate of those who live next to the famed and eminent to exist in obscurity. How else would one explain the fact that so few have ever heard of the Rawa Danau nature reserve at the western end of West Java?


Without its water, the huge Suralaya power plant on the Sunda Strait would run out of steam and the thriving industrial town of Cilegon in Banten would be doomed to wither. And if ever the water in this unsung reserve should dry up, the island of Java would lose the only hill swamp-forest ecosystem still in existence.

It was in the early morning of a bright, clear day that we arrived at Padarincang, the last village accessible by car on the road from Jakarta towards the reserve. From there on it was a three-hour hike over narrow footpaths, flanked here and there by simple houses, an elementary school, and food stalls. Then, rather abruptly, the land grew more empty. Houses stood abandoned in the stretch where the reserve area began, and old ricefields lay abandoned, overgrown with bushes two to three meters tall, blocking our path. The people had for many years been gone: resettled in more scarcely populated areas outside Java.

At the end of the road there was a wide expanse of marshland. And ahead of us still lay another quarter of an hour of padding in a canoe, which was the only means of transportation available at this point to enter the reserve area proper.

Literally, the name Rawa Danau means “lake of marshes”. The reserve is spread over a valley about 90 meters above sea level. About 2,500 hectares (6,750 acres) large, it was declared a nature reserve in 1921 to protect Java’s even then only remaining mountain swampland forest area.

Severaltimes during the past , farmers hungry for land had tried to reclaim the land from the bogs. That happened in as early as 1835, and again between 1907 and 1910. In 1942, bands of people moved into the reserve and tried to occupy the land. Records compiled in 1983 showed that one-third of the land inside the reserve had been converted into farmland.

Resettling the people to other areas apparently helped, but new problems have since cropped up: water hyacinths (Eichornia crassipes) and other swamp vegetation are proliferating out of control.

Few people have yet realized the lost that has been suffered. Several endemic flora species still flourished, such as Alocasia batamensis and Coix lacryma-jobi l. var Palustris Backer.

But many more are believed to have perished or have been pushed back by intruder species from outside the reserve, such as the tuber Manihot esculenta, sugar canes (Saccharum officinarum), caladium (Colocasia esculenta), and the rice that was initially planted by farmers.

Besides the beauty of its unique vegetation, Rawa Danau also offers a most pleasant environment for bird watchers. The reserve is home to a number of rare bird species, among which are Tulung Tumpuk (barbet, Megalaima javensis), which is endemic to the area, the big raja udang (white colored kingfisher, Halcyon chloris), beo (talking myna, Gracula religiosa), and the elang bondol (brahminy kite, Haliastur indus).

Bird watching in these wilds, though, can have its perilous moments. In our preoccupation with birds, we hardly noticed we had penetrated rather deep into the wastelands until we heard the roar of what must have been a leopard (Panthera pardus) not very far away.

Fortunately nothing more spectacular happened than the passing through the tree branches of groups of monkeys and a flying squirrel (Etaurista elegan) gliding above us with her young clasped to her body. Such rare species, however, have sales value and for that reason they are hunted. In the case of Rawa Danau, the relative obscurity may well be a blessing in disguise. But even as it is, the deterioration of the natural environment inside the reserve is turning it into a less-than-ideal habitat for wildlife.

Meanwhile the population pressure on the reserve area is hardly abating. The relevant question now may be: How long before Java will lose its last more or less intact hilly swamp-forest ecosystem?

For one thing, water hyacinths are slowly taking over. Already, much of the water is covered with floating islands of water hyacinths. As a result, the process of silt forming and sedimentation is accelerating. In due time, all the water will be gone. Perhaps only then will it be realized how serious the impact of the loss of Rawa Danau can be (first published in Voice of Nature, 1990/written by Ika Nurillah Krishnayanti and Christina P. Wulan).

Lingkungan

Menyusuri Rawa Danau

Inilah satu-satunya ekosistem rawa pegunungan di Pulau Jawa yang selamat dari kepunahan. Inilah pengalaman saya dan sahabat saya, Christina P. Wulan semasa kuliah di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia ke cagar alam dekat Ujung Kulon ini.

Namanya memang tidak setenar tetangganya, Ujung Kulon. Namanya, Rawa Danau, cagar alam yang terletak + 45 km kea rah barat daya kota Serang, Jawa Barat, memegang peranan yang tidak kecil dalam penyediaan air bagi kota Cilegon, PLTA Suralaya, industry baja Krakatau Steel, dan pengairan lahan pertanian di sekitarnya. Ke Rawa Danau itulah kami, para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kerja Lapangan.

Jukung, Transportasi Utamanya

Untuk mencapai Rawa Danau, kami harus sampai dulu di Desa Padarincang, desa terakhir yang masih bias dimasuki kendaraan beroda empat. Jalan menuju kawasan cagar alam hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Lama perjalanan sekitar tiga jam dari Desa Padarincang. Ada ojek, tapi hanya sampai di batas desa. Namun jarang ada tukang ojek yang mau bersusah payah menempuh perjalanan di pematang sawah yang sempit.

Tiga perempat jam pertama, kami masih menelusuri jalan desa yang di kiri-kanannya ada warung, rumah penduduk dan sebuah sekolah dasar. Setelah itu, mulailah perjalanan menyeberangi sungai yang katanya ada buayanya, melintasi sawah dan rumah penduduk yang sudah ditinggalkan penghuninya karena mereka bertransmigrasi ke Sumatra.

Sisa Perjalanan yang 15 menit kami tempuh dengan naik jukung. Jukung adalah sebuah perahu terbuat dari batang pohon yang cukup besar dan dipahat membentuk cekungan besar. Jukung dibuat tanpa menggunakan paku dan menurut kepercayaan setempat, perahu jenis ini tidak boleh dicat.

Kami menelusuri rawa yang dipenuhi eceng gondok dan tumbuhan gulma air yang mengancam rawa cepat menjadi daratan. Naik jukung di perairan yang tidak begitu dalam (rata-rata 1,5 m) seperti di Rawa Danau, ternyata memerlukan kecermatan pengemudinya. Jika tidak, jukung yang sarat penumpang dan peralatan observasi itu bias kandas di tanah rawa yang berlumpur.

Dahulu, Rawa Danau merupakan suatu lembah yang luasnya 2.500 hektar dengan ketinggian + 92 m dari permukaan laut. Kawasan itu ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Gubernur Jenderal Belanda tanggal 6 November 1921. Tujuannya adalah untuk melindungi ekosistem rawa pegunungan yang merupakan satu-satunya di Pulau Jawa. Namun, wilayah itu makin sempit akibat usaha pengeringan rawa untuk dijadikan daerah permukiman atau lahan pertanian, serangan tumbuhan eceng gondok dan gulma air lainnya. Kualitas dan kuantitas air rawa pun menurun sehingga mempengaruhi penyediaan air bagi industry baja Krakatau Steel, PLTA Suralaya, serta pengairan bagi lahan di sekitarnya.

Sebenarnya, air yang masuk ke Rawa Danau berasal dari gunung-gunung yang mengelilinginya. Di antaranya Gunung Jamungkal yang berada di sebelah barat. Di kaki gunung itu terdapat beberapa sumber air panas yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat pemandian. Sumber air panas tersebut menjadi petunjuk adanya sisa aktivitas vulkanik di gunung tersebut.

Selama melakukan kerja lapangan di cagar alam Rawa Danau, kami tinggal di pos petugas PHPA (Perlindungan Hutan Pelestarian Alam) yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Baru, permukiman penduduk yang berada di pinggir kawasan cagar alam. Kampung tersebut tidak terlalu banyak rumahnya. Menurut salah seorang petugas PHPA, ada sekitar 75 rumah tangga. Rumah-rumah di kampong itu sebagian besar beratapkan genteng. Tapi semakin naik ke gunung, hamper seluruh rumah beratap daun kelapa. Penduduknya adalah petani. Mereka ada yang berkebun kopi, cengkeh, dan pisang yang ditanam sampai ke gunung. Ada juga yang bermata pencaharian menangkap ikan. Di kampong tersebut belum ada listrik dan sarana pendidikan. Sebuah bangunan sekolah tinggal berupa sisa tembok dengan papan bertuliskan “Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padarincang”.

Menyimpan Jenis Burung Langka

Kegiatan kami selama di Rawa Danau adalah meneliti kualitas air dengan mengukur kadar oksigen yang terlarut, kadar nitrat, total fosfat, natrium, pH air, serta meneliti keanekaragaman algae yang hidup di perairan rawa. Kehadiran serangga tertentu, misalnya capung, di sekitar perairan bisa member petunjuk sudah atau belum tercemarnya perairan tersebut. Selain itu, kami juga meneliti tumbuhan yang ada. Yang belum diketahui, kami buat herbarium. Soalnya, di cagar ala mini tersimpan jenis flora yang jarang dijumpai di rawa-rawa lain di Pulau Jawa, seperti Coix lacryma-jobi palustris.

Observasi burung merupakan kegiatan lain yang mengasyikkan. Entah pagi atau sore hari, kami sudah harus berada di lokasi pengamatan.Alat yang kami gunakan untuk pengamatan burung adalah binokuler, kamera potret, buku catatan, dan buku penuntun lapangan (field guide) berisi deskripsi burung-burung yang ada di Jawa. Tidak jarang kami harus mendekam di suatu tempat atau mengendap-endap selama bermenit-menit untuk mengamati seekor burung. Yang paling seru ketika kami menguntit burung yang bersembunyi dalam vegetasi rawa. Sambil sibuk menebas lebatnya semak, kami juga harus melepaskan lintah-lintah yang gemar menembus pakaian!

Kadangkala burung-burung itu hanya suaranya saja yang dapat kami dengarkan. Namun harus kami catat. Buat para pemula, hal ini menyulitkan. Beruntung, dengan bantuan para penduduk, kami dapat mengidentifikasi burung tersebut. Misalnya burung cipeuw yang bunyinya “cii---poo…cii…poo!”.Atau kalau kami mendengar suara menyerupai bayi menangis, itulah suara elang bondol (Haliastur Indus) yang beberapa tahun kemudian ditetapkan menjadi satwa maskot Provinsi DKI Jakarta.

Masih banyak yang kami lihat selama mengikuti kegiatan di cagar alam Rawa Danau. Dari data observasi kami, cagar alam ini diketahui menyimpan jenis burung langka yang dilindungi, seperti burung tulung tumpuk (Megalaima javensis), burung raja udang besar (Halcyon chloris), burung rangkong, atau beo.

Namun pengalaman menarik tidak selalui menyertai kami. Jukung kami sempat bocor. Tak ada pilihan lain, kami harus bekerja keras menguras air yang masuk dan menambalnya dengan lumpur. Padahal kami harus menjelajahi perairan untuk mengumpulkan vegetasi air.

Kini berpuluh tahun kemudian, kami tak pernah mendengar nama Rawa Danau ini. Kabarnya kawasan ini telah semakin susut. Entah, apakah masih ada ekosistem rawa pegunungan yang tersisa satu-satunya ini di Pulau Jawa. Kabar terakhir, ketika tulisan ini diketik ulang, PT Krakatau Steel telah diprivatisasi (tulisan ini dimuat dalam majalah Intisari Oktober 1990/Ika Nurillah Krishnayanti & Christina P. Wulan).